Oleh: @olinkrusd
Terbukanya kran
demokrasi pada 1998 tidak semata-mata terjadi dengan sendirinya, namun dapat
ditelusuri pada banyak hal. Seperti kekecewaan dari banyak kalangan terhadap
pemerintahan orde baru, terjadinya krisis ekonomi yang kemudian berujung pada
lengsernya simbol kekuasaan yang sudah tercatat 32 tahun memanipulasi rakyat
atas nama pembangunan. Namun negeri
masih dapat dikatakan negara demokrasi dengan ditandainya pemilihan presiden
setiap lima tahun sekali sebagai tolak ukur.
Perjalanan
demokrasi yang semakin baik dapat dilihat dari beberapa hal. Yakni secara formal atau prosedural
dan kultural. Secara prosedural Indonesia
sudah mempunyai atribut – atribut pendukungnya. Salah satunya (untuk menyebut sebgian) paling
gamlang dan urgen sebagi sirkulasi kekuasaan yakni pemilu lima tahunan. Baik
pemilihan Presiden, Gubernur,
Bupati, bahkan Kepala
Desa sudah diterapkan demi terciptanya good governance. Tolak
ukur yang juga penting sebagai negara demokratis yakni keberadaan partai politik.
Hal tersebut dapat ditemukan di Negara bangsa ini.
Berbagai kejadian
seperti kebijakan yang tidak pro terhadap rakyat, perilaku wakil rakyat
yang tidak sewajarnya dan tampilnya sederatan pemimpin yang dimenangakan dengan
obral janji dan mobilisasi masa, bahkan dengan iming – iming uang seakan
menjadi hal yang biasa. Kejadian – kejadian tersebut tidak terlahir dengan begitu saja, melainkan ada sederetan rangkaian kejadian yang membentuknya.
Adanya
rasa kurang percaya terhadap pemerintah atau dengan kata lain terlihatnya perilaku
masyarat yang kurang acuh, menjadi momok tersendiri bagi perkembangan
konsolidasi demokrasi di Negara bangsa. Juga akan menimbulakan seperti
tampilnya para demagog (kandidat yang obral janji) yang semakin melemahkan
partispasi rakyat di kemudian hari. Hal tersebut berakibat pada krisis
negarawan yang benar – benar mempunyai kapabilitas dalam memimpin.
Modal
sosial sebagai obat mujarab
Tolak ukur yang
prosedural dalam perjalanan demokrasi ke konsolidasi demokrasi bukan tidak cukup
penting. Namun konsolidasi demokrasi mengandaikan budaya
masyarakat yang mendorong ke arah yang lebih baik.
Budaya seperti kepercayaan
terhadap aparat pemerintah, sedikitnya rasa apatis dari rakyat dan keikutsertaan
dalam memperbaiki segala hal yang menjadi keruwetan pemerintah menjadi modal utama
memperbaiki kinerja pemerintah selanjutnya.
Ada
beberapa modal sosial yang dapat mencegah berbagai praktek seperti tidak dapat
dibendungnya money politic atau fenomena seperti yang telah
disebutkan di atas (untuk menyebut sebagian). Pola pertama yang dapat dijadikan
tolak ukur dari hal ini, dilihat dari keseadaran politik. Masyarakat yang banyak
mengetahui berbagai isu dan memperhatikan perkembangan politik setempat menandakan kesadaran akan
pentingnya pemerintah. Pola seperti ini tidak dapat diabaikan atau dipandang
kurang berpengaruh pada proses konsolidasi demokrasi. Sebab kesadaran
(mengawasi) pemerintah akan berefek pada kinerja pemerintah itu sendiri.
Pola
selanjutnya yakni keanggotaan pada berbagai organisasi (baca: majlis ta’lim,
perkumpulan kedaerahan, parpol dan semacamnya) menunjukkan masyarakat mempunyai
modal sosial tinggi, dengan catatan anggota dari beberapa oraganisasi tidak
hanya terdaftar dalam buku besar, melainkan diukur dari anggota yang aktif. Hal tersebut akan menjadi
amunisi tersendiri terhadap terciptanya pemerintahan yang baik dan kultur
pemilu yang sehat.
Beberapa
modal sosial sekiranya dapat ditemukan di berbagai daerah, seperti banyaknya
masyarakat yang melek isu–isu politik, mengetahui pejabat pemerintah atau
kandidat yang akan maju pada pilgub mendatang dan modal sosial seperti sadar
akan suara yang diberikan ketika pemilihan berlangsung akan menjadi mesin
pengoreksi otomatis (terhadap maraknya praktik money politic maupun praktek yang lainnya) sehingga budaya tersebut juga akan mendorong terciptanya good
governance.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar