Jumat, 20 Desember 2013

MemperkuatKultur Demokrasi di Tingkat Grass Root


Oleh : Sulaiman
Pendahuluan
Perbincangan demokrasi di Indonesia sampai saat ini masih menjadi isu yang menarik.Hal ini tidak terlepas dari beberapa kondisi yang dianggap jauh dari harapan dan substansiideal demokrasi (kedaulatan rakyat).Beberapa diantara kondisi yang saya anggap menurunkan kualitas demokrasi di Indonesia.
Pertama, demokrasi kita belum mencerminkan substansi demokrasi.Ini terlihat bahwa demokrasi kita cenderung hanya berkutat pada wilayah mekanisme-prosedural kelembagaan.Pemilihan pemimpin mulai dari tingkat desa sampai presiden dilakukan melalui proses-proses demokratis, yakni melalui mekanisme dan prosedur tertentu yang melibatkan partisipasi masyarakat.Namun, pemimpin-pemimpin kita yang terpilih melalui prosedur demokratis tersebut justru tidak banyak yang mampu menjawab kebutuhan riil rakyatnya.
Kedua, dalam konteks politik, penerapan demokrasi memang telah banyak memberikan hasil positif.Setidaknya, kebebasan berpolitik yang merupakan hak semua orang telah terbuka.Persoalannya kemudian yang muncul, demokrasi terlihat sekedar sebagai ajang kontestasi politik terutama para elit politik.Kebebasan semua orang untuk berpolitik justru hanya menghasilkan pertarungan kepentingan antar elit yang tiada akhir.

Gejala ini terlihat dari kenyataan bahwa negeri ini kian dipenuhi oleh aktor atau kelompok-kelompok yang saling bersaing, konflik antar elit partai, konflik antar internal partai, dan pertarungan kelompok-kelompok kepentingan lainnya.Konflik utamanya tidak jauh dari soal perebutan posisi kekuasaan. Proses loby-loby sampai kepada tindakan-tindakan money politic mewarnai perilaku para elit. Kondisi ini kian menurunkan kepercayaan publik terhadap para elit yang ujung-ujungnya menurunkan kualitas demokrasi di mata mereka.
Ketiga, demokrasi kita masih berkutat di wilayah demokrasi politik. Dengan kata lain, demokrasi sekedar memberikan ruang yang setara di bidang politik dengan terbukanya akses-akses politik, kebebasan berpendapat, menyuburnya kelompok-kelompok penekan yang kritis, dan partisipasi politik lainnya bagi semua warga.
Persoalannya demokrasi tidak sekedar mengurusi soal kesetaraan dan kebebasan politik. Bahwa semua orang harus memperoleh hak-hak politiknya secara sama merupakan hal yang tidak bisa terbantahkan. Tetapi, demokrasi juga memiliki tujuan untuk terciptanya masyarakat yang sejahtera secara ekonomi. Demokrasi harus memberikan pemecahan masalah terhadap persoalan ketimpangan ekonomi antara 
Demokrasi (dinggap) belum mampu memberikan solusi atas ketimpangan ekonomi.Demokrasi liberal justru, disinyalir kuat, semakin memperlebar disparitas antara yang kaya dengan yang miskin.Karena itu tidak sedikit yang mencaci-maki demokrasi sebagai tidak berfungsi, bahkan sebagian kalangan bukan saja ingin melakukan perbaikan terhadap demokrasi, tetapi akibat kekecewaan mereka terhadap demokrasi membuat mereka memberikan opsi sistem lain, misalnya kelompok seperti HTI memperjuangkan sistem khalifah.
Memang seperti dicatat oleh Zulfikri Suleman, demokrasi Indonesia bersumber dari pemikiran politik barat, yakni “…bersumber dari prinsip kebebasan individu (individualisme) yang tumbuh dan hidup subur di Negara-negara barat sejak abad ke-17 yang lalu…”[1]Selanjutnya dia menggambarkan beberapa kelemahan yang dikutip dari Carol C. Gould:
“pertama, individualism menempatkan manusia sebagai mahluk asocial dan egoistis, yang motivasi utamanya dalam bertindak hanyalah untuk kepentingan diri sendiri. Kedua, dengan mengutamakan penumpukan kepemilikan pribadi, dan dijamin oleh Negara, individualisme membenarkan ketimpangan ekonomi dan sosial dalam masyarakat”.[2]
Takdir Demokrasi
Meskipun demikian, nampaknya sulit untuk memilih sistem yang lain untuk menjalankan negeri ini. Hampir sistem-sistem yang lain seperti khilafah dan komunisme, tidak dapat diterapkan di negeri ini. Sistem khilafah, misalnya, walaupun pernah memiliki sejarah yang gemilang di masa Rasulullah, nampaknya sulit diterapkan lagi untuk konteks saat ini dan di bumi Indonesia.Negeri ini plural, terdiri dari beberapa agama.Seperti telah dipertimbangkan oleh para pendiri negeri ini, hal seperti itu dapat mengancam integrasi negeri ini.
Komunisme, sebagai satu sistem alternatif, pun sulit untuk diterapkan. Negeri yang penduduknya agamis hampir seluruhnya menolak gagasan komunisme yang dianggap bertentangan dengan nilai-nilai keagamaan.Komunisme dianggap membenarkan atheisme.Dalam sejarah republik ini, komunisme atau PKI memiliki sejarah kelam dan berdarah-darah. Karena itu, walaupun demokrasi merupakan sistem yang buruk, sayangnya tidak ada sistem lain yang lebih baik daripada demokrasi, demikian kata filsuf.
Apa yang harus dilakukan. Pertama, tentu berusaha untuk memperbaiki mutu demokrasi.Demokrasi tidak boleh berhenti pada wilayah procedural melainkan harus menyentuh pada persoalan-persoalan yang menyangkut hajat hidup seluruh rakyat Indonesia yang tersebar dari Sabang sampai Merauke.Kedua, kaum intelektual seperti mahasiswa harus terus berjuang untuk memperbaiki demokrasi.Sebagai agen of control, keberadaan mereka harus semaksimal mungkin memperjuangkan idealismenya dan bersikap kritis terhadap segala persoalan yang dialami negeri ini.Lebih jauh, mahasiswa harus memberikan solusi-solusi kreatif untuk kemajuan negeri ini. Dua persoalan ini yang akan menjadi pembicaraan dalam tulisan ini.
Mengupayakan Demokrasi Substansial
Hatta berpendapat, dalam bukunya Zulfikri Suleman, demokrasi sebenarnya memiliki tujuan yang mulia, yaitu kemerdekaan, persamaan dan persaudaraan sebagaimana yang disemboyankan oleh Revolusi Prancis 1789.Dia menambahkan bahwa dalam prosesnya yang mengalami ‘distorsi’ sehingga tidak bisa dijadikan pedoman untuk membangun Indonesia merdeka.[3]
Selanjutnya Hatta memberikan konsep demokrasi untuk Indonesia yang meliputi beberapa karakteristik.Pertama, massprotest atau adanya sikap kritis rakyat terhadap penguasa.Kedua, musyawarah mufakat dan, ketiga, saling tolong menolong.[4]Menurutnya dua yang pertama merupakan dasar untuk mewujudkan demokrasi politik, sedangkan yang terakhir menjadi dasar untuk menegakkan demokrasi ekonomi.[5]
Demokrasi ala Hatta yang menegaskan pentingnya keadilan ekonomi senafas dengan semangat sila kelima yang berbunyi keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia.Persoalan ekonomi merupakan hal yang sangat krusial.Bagi masyarakat grass root, sistem apapun tidak masalah yang terpenting dapat memberikan kepada mereka kehidupan yang layak.Hal ini terbukti dengan sedikit banyak orang yang merindukan kepemimpinan presiden Soeharto, meskipun tentu saja kalangan aktifis dan pejuang demokrasi menentangnya.Hal itu tidak terlepas dari kenyataan bahwa dia sangat memperhatikan aspek-aspek ekonomi masyarakat terutama di kalangan bawah.
Peran Intelektual Mahasiswa
Sebagai kelompok terpelajar, mahasiswa sudah tentu menjadi bagian penting dari masyarakatnya.Mereka merupakan kelompok intelektual, tentu yang dimaksudkannya – jika merujuk pada kategori Gramsci – adalah intelektual organik bukan intelektual tradisional.[6]Intelektual organic merupakan segelintir orang yang memiliki ilmu pengetahuan sekaligus memiliki kepekaan sosial dan bertindak demi memperbaiki keadaan-keadaan sosialnya.sedangkan Syed Hussen Alatas menamakan ‘intelektual’ sebagai “…seseorang yang memusatkan diri untuk memikirkan ide dan masalah non-material dengan menggunakan kemampuan penalarannya…”[7]
Mahasiswa seringkali menjadi kelompok terdepan dalam mengawal demokrasi.Satu peristiwa penting pada tahun 1998, mereka bertindak menggulingkan rezim orde baru yang otoriter.Mereka berhadapan dengan (konsekuensi) kematian hanya untuk satu tujuan mulia, yakni terbebasnya masyarakat dari kuasa orde baru yang kejam, korup dan sudah tidak memikirkan kondisi rakyatnya.Sebelumnya momentum penurunan Soekarno, mahasiswa pula yang menjadi mesin lokomotif perubahan.
Dalam konteks sekarang, kebutuhan terhadap kaum intelektual bukan saja mengontrol dan melawan kebijakan-kebijakan pemerintahan.Bukan hal tersebut tidak penting, tetapi selain varian intelektual yang berhadapan dengan pemerintah, perlu juga sosok atau kelompok-kelompok intelektual yang peka dengan persoalan di dalam masyarakat, mampu mengenali kebutuhan-kebutuhan mereka dan kemudian membantu mereka.
Di tengah-tengah kondisi seperti saat ini – gejala separatisme, konflik antar kelompok pelajar, sekte dan persoalan-persoalan lain yang berpotensi mengarah pada disintegrasi – mahasiswa harus bertindak dengan menanamkan nilai-nilai positif di dalam masyarakat.Mereka harus memperkenalkan prinsip dan ideal-ideal demokrasi, yakni pentingnya merawat persaudaraan, pentingnya dialog (musyawarah) dalam setiap persoalan dengan mengedepankan sikap ‘sabar’, dan semacamnya.
Dengan demikian demokrasi tidak sekedar alat atau prosedur kelembagaan, tetapi juga merupakan nilai-nilai substansial yang perlu ditanamkan kepada masyarakat sehingga menjadi bagian dari budaya Indonesia.Penguatan nilai-nilai cultural seperti ini – walaupun berlangsung lama – sangat penting karena hal ini menyentuh bagian yang mendasar di dalam masyarakat.
Ciputat, 23 April 2013

Daftar Pustaka
Zulfikri Suleman, Demokrasi Untuk Indonesia, Pemikiran Politik Bung Hatta (Jakarta: Kompas). 2010.
Roger Simon, Gagasan-Gagasan Politik Gramsci, (Yogyakarta: Insist). 1999.
Syed Hussein Alatas, Intelektual Masyarakat Berkembang, (Jakarta: LP3ES). 1988.



[1] Zulfikri Suleman, Demokrasi Untuk Indonesia, (Jakarta: Kompas), 2010, h. 3
[2] Ibid, h. 3
[3] Ibid, h. 7
[4] Ibid, h. 18
[5] Ibid, h. 18
[6] Mengenai pembahasan ini, lihat Roger Simon, Gagasan-Gagasan Politik Gramsci, (Yogyakarta: Insist, 1999), h. 139 - 152
[7] Syed Hussein Alatas, Intelektual Masyarakat Berkembang, (Jakarta: LP3ES), 1988, h. 12

Tidak ada komentar:

Posting Komentar