Jumat, 20 Desember 2013

Toleransi dan Tantangan Dialog Antarumat Beragama


Oleh: Losse
Indonesia adalah taman dunia. Ibarat sebuah taman, Indonesia dipenuhi oleh tumbuh-tumbuhan, aneka bunga, dan beragam spesies mahluk hidup yang berada di dalamnya. Keanekaragaman merupakan faktor utama keindahan taman itu. Dengan kata lain, kemajemukan suku-bangsa, budaya, dan agama adalah faktor utama kelebihan bangsa Indonesia, di samping limpahan anugerah sumber daya alam yang diberikan Tuhan.
Namun, dalam beberapa tahun terakhir ini, realitas kemajemukan itu seringkali terkoyak oleh serangkaian konflik bernuansa kekerasan yang marak terjadi di berbagai daerah, dengan korban jiwa dan materi yang tak sedikit. Berbagai konflik komunal itu tidak hanya mengganggu
kenyamanan, keamanan, atau stabilitas nasional, tapi menimbulkan ancaman disintigrasi yang semakin massif. Konflik-konflik komunal tersebut menggambarkan bahwa bangunan kebangsaan yang diangankan solid, ternyata ditopang oleh fondasi yang ringkih nan rapuh. Bangsa ini harus khawatir dengan persoalan ini, karena tantangan terberat sebuah bangsa yang tersusun secara multikultural, multietnik, dan multiagama yang rapuh dan rentan dalam perpecahan, cenderung berakhir pada kehancuran, jika gagal dikelola dengan bijak.
Kita patut khawatir karena mencermati hasil studi Arend Lijphard beberapa tahun yang lalu, mengenai demokrasi di negara-negara plural. Ia mengidentifikasi, dari 114 negara, hanya 15% di antaranya yang dapat digolongkan sebagai demokrasi yang stabil yang berasal dari masyarakat yang plural, yang umumnya berasal dari masyarakat yang relatif homogen (low and moderater pluralism). (Sultan Hamengku Buwono X, 2007, h. 13)
Masyarakat yang plural di Dunia Ketiga acapkali terjatuh pada instabilitas yang rawan disintegrasi. Indonesia yang terdiri atas masyarakat yang plural, multikultural, dan sangat heterogen, pada dasarnya tak memiliki jaminan untuk tidak mengalami perpecahan, atau paling tidak kesulitan untuk mencapai demokrasi yang stabil.
Mencermati berbagai konflik yang marak terjadi hingga kini, faktor sentimen agama merupakan hal yang paling dominan. Meskipun secara ideal-normatif, tidak ada agama yang mengajarkan konflik dan permusuhan, tetapi secara faktual-historis terekam bahwa sejarah hubungan antarkomunitas beragama acapkali diwarnai ketegangan dan konflik kekerasan. Bahkan, dalam konteks global keterlibatan anasir agama dalam serangkaian konflik tidak hanya meningkatkan eskalasi konflik melainkan juga menyebabkan konflik yang tak mudah diurai. Sebagian konflik bernuansa agama bahkan menyebabkan beberapa negara harus pecah menjadi negara-negara tersendiri seperti Pakistan dan beberapa negara di Asia Selatan serta sejumlah negara di Teluk Balkan. Pada kenyataannya, semenjak abad ke-20 hingga memasuki abad ke-21, konflik kekerasan bernuansa agama dan etnik semakin meningkat menggantikan isu konflik yang bersumber pada ideologi kebangsaan. (ed. Nur Achmad, 2001, h. 88-93).
Meskipun konflik bernuansa agama merupakan tipe konflik yang tak mudah diurai, tetapi bukan berarti konflik tersebut tidak bisa dikelola dengan baik. George Weige memberi penilaian secara seimbang bahwa agama dapat menjadi sumber konflik sekaligus juga memiliki potensi kreatif yang dapat berfungsi sebagai jaminan yang kuat untuk toleransi sosial, pluralisme demokratis, dan resolusi konflik nir-kekerasan. Syaratnya adalah ketersediaan dari para pemeluk agama untuk menghayati dan mengamalkan ajaran agama secara dewasa, toleran, dan pluralis. Sebagaimana disebutkan oleh Khaled Abou El Fadl bahwa semangat toleran dan pluralis dari para penganut agama akan menentukan corak pemahaman teks suci agama secara toleran pula. (Khaled Abou El Fadl, 2002, h. 23)
Budha mengajarkan bahwa pikiran kita menjadi musuh yang paling berbahaya, tetapi juga pikiran kita sendiri akan menjadi sahabat sejati yang sangat banyak membantu. Pikiran yang toleran akan termanifestasi pada sikap toleran, inklusif, dan keterbukaan untuk menjalin hubungan yang harmonis antarsesama manusia terlepas apa pun agama dan keyakinannya, sebaliknya pikiran yang dilandasi intoleransi akan melahirkan sikap eksklusif, garang, dan penuh permusuhan.
Karena itu, dialog menemukan arti pentingnya untuk menyemai bibit-bibit toleransi di pikiran-pikiran umat beragama. Dilaog harus dikembangkan, dihidupkan, dan dikuatkan baik di tingkat lokal, nasiona, regional, maupun mondial. Dalam hubungan dengan upaya ini, saya mengutip apa yang dikatakan Hans Kȕng bahwa “tidak akan ada damai di antara bangsa-bangsa, selama tidak ada damai di di antara agama-agama. Dan tidak ada damai di antara agama-agama selama tidak ada dialog di antara agama-agama.” Rumusan ini sangat tepat, artinya perdamaian antarbangsa ditentukan oleh perdamaian antaragama, dan perdamaian antaragama dapat dicapai melalui dialog antaragama. Tidak ada cara lain yang lebih baik di dalam mengatasi ketegangan-ketegangan antaragama selain melalui dialog. (Seri Dian, 1994)
Namun, berkaca dari semakin maraknya konflik kekerasan bernuansa agama menunjukkan bahwa terdapat persoalan mendasar dalam dialog antarumat beragama yang selama ini berlangsung. Sehingga pesan-pesan damai dan toleransi yang harusnya ditransformasikan kepada segenap umat beragama mengalami sumbatan dalam proses komunikasi itu. Maraknya dialog antar umat beragama ternyata belum mampu menurunkan eskalasi konflik kekerasan di masyarakat secara signifikan, baik yang dilatari kesenjangan sosial atau pun permasalah agama.
Menurut hemat saya, sebagai anak muda atau komponen masyarakat merasa bahwa dialog yang berlangsung selama ini, terlihat lahir dari sikap reaktif atas suatu pristiwa konflik kekerasan yang tengah terjadi, sehingga dialog antaragama terkesan bersifat temporal. Dialog belum dimaknai sebagai sebuah kebutuhan mendasar kita sebagai umat beragama, yang perlu dipupuk dan dikembangkan terus-menerus. Bahkan tidak jarang, dialog antaragama berjalan pada suatu proposisi untuk mencari suatu kebenaran yang paling hakiki di antara agama-agama. Jadi, dialog tidak dimaknai sebagai proses untuk saling memahami di antara masing-masing agama, tetapi pada penunjukan ego keberagamaan satu agama di atas agama lainnya. Dialog seringkali dijadikan sebagai tempat untuk memenangkan suatu perkara, atau bahkan untuk menyelundupkan agenda tersembunyi yang tidak diketahui partner dialog. Perbedaan pendapat dianggap sebagai alasan untuk menghakimi dan memberikan penilaian sepihak.
Hal ini menyebabkan dialog antaragama kehilangan elemen utamanya, yakni keterbukaan, sikap kritis dan upaya untuk saling mendengar. Dialog antaragama merupakan tantangan bagi setiap orang untuk mengembangkan kejujuran dan otentisitas imannya. Demikianlah, dialog mempunyai fungsi untuk melihat bagaimana relasi antara saya dengan agama saya, relasi saya dengan orang atau agama lain, dan seterusnya. Dialog antaragama merupakan pedang bermata dua, sisi pertama ia merupakan sebuah otokritik karena dalam kehidupan kita masih sangat dibebani oleh prasangka serta upaya entah sadar atau tidak untuk menegasikan orang lain. Dan sisi yang kedua terarah kepada suatu percakapan kritis yang bersifat eksternal, yaitu untuk saling memberikan pandangan berdasarkan keyakinan sendiri. Oleh karena itu, suatu percakapan yang dialogis membutuhkan kesediaan untuk mendengar dari semua pihak secara adil dan setara.  
Diaolog antaragama yang berlangsung selama ini masih berkutat pada dialog teologis. Pada tataran ini memang sudah lebih maju dibanding sikap eksklusif, namun dialog tidak boleh berhenti pada tataran ini. Kita harus berusaha membuka dialog hidup kita terhadap kegembiraan, kesusahan, keperihatinan, dan kegelisahan hidup sesama kita. Substansi dialog mempunyai jangkauan yang lebih dalam bagi penghayatan keagamaan seseorang di tengah masyarakat-masyarakat dunia semakin terbuka dan berubah-rubah. Kini sudah tiba saatnya bagi agama-agama dunia secara bersama-sama mengarahkan setiap kegiatan dialog untuk menyonsong masa depan, dengan segala kesempatan dan tantangan baik yang sudah bisa diantisipasi maupun belum, demi masyarakat yang lebih adil, lebih merdeka, dan lebih manusiawi.
Dialog antaragama harus menempatkan peran agama-agama dalam konteks persoalan global yang dihadapi bangsa manusia pada abad ini. Dialog perlu ditempatkan pada tantangan-tantangan dan kesempatan-kesempatan yang dihadapi umat manusia, seperti persoalan lingkungan, kemiskinan, bencana alam, kejahatan perang, perdamaian, dan lain sebagainya. Jadi, dialog antaragama tidak hanya bergerak dalam dataran pengetahuan teologis mengenai agama lain, yang juga memang penting namun yang terpenting adalah dialog beranjak dalam dataran pengalaman dan keterlibatan iman yang mendalam dalam kehidupan konkret kemanusiaan.
Dialog tidak boleh berhenti sekedar pada terwujudnya ko-eksistensi atau semacam toleransi pasif. Menurut Hans Kȕng, dialog pada tataran ini memang sudah lebih maju dari sikap eksklusif atau intoleran sama sekali, tetapi dia belum mampu secara kreatif dan aktif melahirkan kadar toleransi yang saling membangun di antara agama-agama. Oleh karena itu, Kȕng menawarkan sasaran dialog yang lebih maju dari sekedar bertujuan ko-eksistensi menuju pro-eksistensi, yakni sebuah sikap toleransi yang tidak berhenti pada pengakuan akan kebenaran-kebenaran agama-agama tetapi masing-masing ikut terlibat secara aktif dan konkret dalam mengupayakan kehidupan yang lebih baik di atas landasan-landasan universal kemanusiaan.
Inilah yang diupayakan Kȕng untuk menyusun sebuah etika global bagi tanggungjawab bersama agama-agama untuk menjalin perdamaian di antara agama-agama dan untuk turut terlibat dalam memperbaiki keadaan dunia yang sedang mengalami krisis makna, nilai, dan norma. Dalam dunia yang dilanda peperangan, maka semua agama berbagi pada satu tanggungjawab bersama, yaitu menghentikan perang dan menciptakan perdamaian. Lewat kesadaran dialoglah, Kȕng melihat kemungkinan yang bisa disumbangkan untuk melaksanakan tanggungjawab bersama itu, yaitu mencari konsensus moral di antara agama-agama dunia. berhadapan dengan fenomena dehumanisasi massal akibat kelaparan berkepanjangan, perang, sindikat obat terlarang berskala nasional maupun global, perdagangan manusia, dan problem-problem besar kemanusiaan lainnya, di sanalah agama ditagih tanggungjawabnya tidak hanya secara individual tetapi juga secara bersama-sama. (Seri Dian, 1994)
Pencarian titik temu (kalimatun sawa) di luar aspek teologis yang memang sudah berbeda sejak semula merupakan ajaran utama Islam (Q.S. Ali Imran ayat 64) dalam hubungannya dengan dialog antaragama. Pencarian titik temu lewat perjumpaan dan dialog yang konstruktif berkesinambungan merupakan tugas kemanusiaan yang perenial, yang abadi, tiada kata berhenti. Pencarian titik temu antarumat beragama dapat dimungkinkan lewat berbagai cara, salah satunya adalah lewat pintu masuk etika, lantaran lewat pintu gerbang etika manusia beragama merasa mempunyai puncak-puncak keperihatinan yang sama. Lewat pintu etika ini, manusia beragama merasa mempunyai agama mempunyai puncak-puncak keprihatinan yang sama. Lewat pintu etika ini, seluruh penganut agama-agama dapat bersentuhan religiusitasnya untuk tidak hanya menonjolkan “having religion”nya. Lewat pintu etika, dimensi spiritualitas keberagamaan lebih terasa promising and challenging dan bukan hanya terfokus pada dimensi formalitas lahiriah kelembagaan agama.
Konsensus moral atau titik temu agama-agama memang cukup sulit terutama ditengah kecenderungan menjamurnya klaim sebagai juru bicara Tuhan. Dengan klaim itu dijadikan alibi untuk merusak hubungan antar sesama manusia dalam keintiman dan keharmonisan. Kesombongan mengklaim diri sebagai haki-hakim wakil Tuhan di bumi, atau sebagai pembela-pembela Tuhan sehingga dengan rasa bangga, mengebiri kebebasan sesama, membunuh kreatifitas, hingga menebas leher sesama.
Meskipun sukar, hal itu tidak bisa dijadikan alasan untuk berputus asa, malah sebaliknya seharusnya menjadi penyemangat untuk terus menggalangkan dialog secara terus-menerus. Saya percaya dengan apa yang dikatakan Kȕng bahwa dialog adalah jalan satu-satunya untuk meredakan ketegangan-ketegangan di antara agama-agama.
Persoalannya adalah kita tidak bisa lagi secara kaku memahami dialog antaragama sebagai dialog antar para elit agama di atas panggung-panggung seminar atau di dalam gedung-gedung mewah. Hal tersebut sah-sah saja, tapi pada kenyataannya tidak mampu secara efektif menyentuh akar rumput yang biasanya menjadi tempat terjadinya konflik kekerasan. Kita harus merumuskan sebuah bentuk dialog kultural di antara agama-agama selain dari apa yang disampaikan Kȕng dengan pencarian konsensus moral atau etika global tanggungjawab agama-agama. Dialog kultural berarti menjadikan umat beragama sebagai subjek dialog, tidak hanya dijadikan sebagai objek penyebaran pesan damai. Dengan begitu, dalam diri umat beragama akan muncul sebuah keyakinan bahwa dialog adalah kebutuhan yang datang dari nilai-nilai dan tradisi agama daripada sebagai nilai-nilai yang diintrupsikan dari luar.
Bentuk dialog seperti ini penting di tengah kedewasaan pada perbedaan, terutama perbedaan keyakinan masih rendah di tengah masyarakat. Terlebih ketika perbedaan dijadikan sebagai permainan untuk mendapatkan kepentingan-kepentingan artifisial oleh oknum-oknum yang tak bertanggungjawab. Karena melalui dialog kultural, masyarakat telah membuat suatu konsensus di antara mereka, yang menjadi pengikat kerukunan di antara mereka. Sehingga kerukunan di tengah-tengah masyarakat tersebut tidak mudah dirongrong oleh orang-orang yang hatinya jahat.
Dialog-dialog kultural di tengah-tengah masyarakat pada dasarnya sangat banyak. Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat sudah menyadari kepentingan untuk menjaga kerukunan di antara mereka secara sistematis. Dialog-dialog kultural itu dapat kita jumpai dalam berbagai macam bentuk, seperti festival, seni tradisional, maupun tradisi-tradisi lain yang telah menjadi ritus penjagaan kerukunan di antara masyarakat. Hal inilah nilai fundamental sebuah dialog, yakni dialog yang hidup secara inharent dalam kehidupan keseharian masyarakat, yang mana dialog itu mereka pahami dan hayati sepenuh hati.
Melalui dialog kultural, berbagai elemen masyarakat terutama kaum muda akan dapat berkontribusi secara efektif dalam mewujudkan kerukunan dan perdamaian di antara umat beragama. Kaum muda adalah elemen masyarakat yang paling strategis untuk berperan dalam dialog antaragama. Citra sebagai individu yang berpikir kritis dan terbuka merupakan “sasaran dialog” yang paling potensial sebagai agen-agen pembawa pesan perdamaian. Namun, sayangnya selama ini, elemen masyarakat inilah yang sering luput dari perhatian dalam berbagai aktivitas dialog antarumat beragama.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar