“Sekarang
martabat negara, tampak telah sunyi sepi, sebab rusak pelaksanaan peraturan,
karena tanpa teladan, orang meninggalkan kesopanan, para cendekiawan dan para
ahli terbawa, hanyut ikut arus dalam zaman bimbang, bagaikan kehilangan
tanda-tanda kehidupannya, kesengsaraan dunia karena tergenang berbagai
halangan”
Serat Kalatidha
Adalah
pujangga besar Kraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat, Raden Ngabehi Ranggawarsita
yang menciptakan karya besar itu sebagai
ekspresi atas kekisruan negerinya yang disebabkan berbagai situasi krisis dan
kacau balau oleh berbagai bencana, sehingga ia menyebutnya sebagai zaman edan.
Serat
Kalatidha tersebut tampaknya ditulis saat masa tua sang Pujangga (1802-1874),
yang berarti bahwa rel-rel kereta api dari Semarang hingga ke Vostenlanden sedang dipasang,
kapitalisme mulai masuk ke daerah kejawen, Mangkunegara dan Kasunanan mulai
melepas sistem apanage dalam
menyewakan tanah-tanah kerajaan kepada perkebunan, dan ekonomi uang sedang
mengubah masyarakat pedesaan. (Kuntowijoyo, 1999, h. 11)
Kerajaan
kehilangan legitimasi, tidak ada lagi yang bisa dijadikan teladan (exemplary center) dalam kehidupan sosial
budaya, negara kehilangan wibawa dan pengaruhnya dihadapan rakyat dan negara
lain. Pemimpin negara, para aparat, dan penguasa pemerintahan terhadap
rakyatnya sama saja perbuatannya, seperti maraknya korupsi, rebutan kekuasaan
dan pengaruh, merasa benar sendiri, penindasan kepada rakyat, dan menjalarnya
perilaku asusila.
Para
cerdik-pandai juga mulai kehilangan wibawanya karena ikut terjerumus dalam
kontradiksi sosial-budaya di segala bidang dalam masyarakat. Sementara,
orang-orang yang berjiwa baik, cerdas dan bijaksana, justru kalah dengan mereka
yang culas, licik, kerdil, dan jahat. Itulah sebabnya, orang-orang baik justru
tersisih dan berada di belakang atau tenggelam oleh hiruk-pikuk dunia yang
penuh oleh angkara murka dan silau oleh pesona duniawi. Banyak rakyat yang
sedih, menderita, sengsaran, dan kelaparan sehingga terjadi kesukaran hidup dan
amat suram tanda-tanda kehidupan di masa depan. Keadaan seperti itu menyebabkan
orang-orang menjadi gila, baik gila karena kehilangan akal sehat atau pun gila
harta, kedudukan, kekuasaan, dan pangkat. (Puji Santosa, 2010, h. 300-302)
Industri
awal rupanya menggoncangkan masyarakat dan kebudayaan. Menghadapi kekuasaan zaman edan yang begitu menyengsarakan
sendi-sendi kehidupan itu membuat hidup serba tidak menentu. Hati dan pikiran
sudah tidak sehat lagi. Karena serba sulit menentukan sikap. (Kuntowijoyo,
1999, h. 11). Seperti yang digambarkan Ranggawarsita, “amening jaman edan, ewuh aya ing pambudi, melu edan ora tahan, yen tan
milu anglakoni, boya kaduman melik, kaliren wakasanipun. Dilalah kersa Allah
begja-begjaning kang lali, luwih begja kang eling lan waspada (mengalami
zaman gila, serba sulit dalam pemikiran, ikut gila tidak tahan, kalau tidak
ikut gila, tidak mendapatkan bagian, akhirnya kelaparan, tapi takdir kehendak
Allah, sebahagia-bahagianya orang yang lupa, masih lebih bahagia yang sadar dan
waspada)”. (Puji Santosa, 2010, h. 297-300)
Rentetan
kata ini juga saya tulis, ketika kekerasan-kekerasan komunal di “ujung timur”
negeri ini (Papua) terus berkecamuk, benih-benih konflik di Poso mulai coba
ditanam kembali, bencana alam lumpur Sidoarjo yang tak kunjung (mau di) tuntas
(kan). Rakyat kecil berjalan kaki sejauh beratus-ratus kilo meter dari tempat
tinggal mereka ke Jakarta demi menuntut keadilan, seperti yang dilakukan oleh
sebuah keluarga lumpur lapindo. Sementara dalam pentas politik nasional,
kasus-kasus korupsi yang melibatkan para pejabat negara, para menteri, DPR,
hakim, hingga penguasa, mulai terkuak menyiratkan wajah bangsa yang sebenarnya.
Kemiskinan, kesejahtraan dan pengangguran adalah berita sehari-hari yang
memenuhi batok kepala kita.
Meski
berlebihan, realitas itu menurut saya serupa dengan apa yang dialami dan
digambarkan Ranggawarsita. Dalam zaman seperti ini, tak mudah menemukan sosok
yang bisa dijadikan tauladan, sulit menemukan norma yang bisa dijadikan
pegangan, susah mendengarkan kejujuran dan merasakan ketulusan.
Apakah
makna kenyataan ini dan hubungannya dengan kepemimpinan pemuda? Saya memulai
pembahasan bab ini dengan prase yang diambil dari Serat Kalatidha karya Ranggawarsita, karena menurut hemat saya, kaum
muda harus menyadari bahwa zaman inilah adalah zaman yang serba susah. Susah
mencari tauladan, susah menemukan keluhuran dan ketulusan, susah mendapatkan
kesempatan karena kemampuan, dan susah menjadi pemimpin yang tidak ikut (gila).
Pemuda
harus menyadari kondisi sosial tempat eksistensi dirinya. “zaman edan” yang melanda negeri ini terutama sejak pertengahan
tahun 1997 hingga lengsernya Presiden Soeharto tahun 1998.
Krisis
yang melanda Indonesia mula-mula berupa krisis moneter dengan semakain
merosotnya nilai tukar rupiah terhadap mata uang negara lain, kemudian
meningkat pada krisis kepercayaan, krisis kepemimpinan, krisis politik, krisis
keamanan, dan krisis-krisis lain di berbagai sektor dengan ditandai oleh
perilaku manusia yang mengarah pada brutalitas, sadisme, dan kekerasan-kekerasan.
Para pemimpin saling menghujat tanpa etika. Ancaman disintegrasi bangsa semakin
meluas di tengah-tengah masyarakat dengan lepasnya Timor-Timor, pergolakan
menuntut kemerdekaan seperti di Aceh dan Papua, hingga pertumpahan darah di
berbagai daerah.
Krisis-krisis
yang melanda negeri ini sejak 1997 hingga reformasi 1998, meski terjadi
perbaikan-perbaikan namun tidak bisa kita menutup mata bahwa berbagai dampak
dari pristiwa sosial itu masih menghantui bangsa ini hingga sekarang. Bukan
untuk menunjukkan pesismisme, namun sebaliknya setiap optimisme itu harus
berangkat dari realitas yang sedang terjadi dan menyelimuti keseharian kita.
Sehingga optimisme itu tidak jatuh pada utopia belaka.
Ranggawarsita
pun, meski menggambarkan keputusasaan terhadap kondisi zamannya hingga
menyebutnya dengan zaman edan, namun
dalam Serat Kalathida itu pun tetap
menaruh harapan untuk memberi peringatan-peringatan kepada para penguasa dan
rakyat di zamannya. Karena sebagaimana yang diungkapkannya, “sebahagia-bahagia
orang yang lupa, lebih bahagia orang yang ingat dan waspada”. Sejak awal,
spirit itulah yang mendasari setiap untain kata dalam tulisan ini. Saya ingin
kita terus memiliki harapan, mimpi, dan optimisme bahwa meskipun realitas
mempersulit bagi lahirnya sosok-sosok pemimpin sejati, kita butuh untuk selalu
ingat dan waspada, sebagaimana yang diungkapkan Ranggawarsita.
Kenyataan-kenyataan
krisis seperti itu malah membuat saya merindukan adanya tatanan idela sesuai
dengan norma-norma luhur yang menjadi budaya kita. Yaitu norma-norma yang
menurut saya bisa menjadi pedoman bagi terwujudnya tatanan kehidupan
bermasyarakat yang sejahtra yang terdapat dalam tradisi yang diwariskan oleh
para pemikir dan para pujangga masa lalu.
Di
sisi lain, saya tidak ingin wacana
pemuda dan kepemimpinan itu lahir hanya sebagai romantisasi dari sejarah masa
lalu belaka. Sehingga seperti yang diungkapkan Onghokham, peran heroik pemuda
kemudian jatuh menjadi mitos yang selalu didengunkan. Padahal menurutnya, tanpa
mengecilkan nilai perjuanngan kaum muda “peran pemuda baik dalam revolusi
maupun peperangan terutama hanya sebagai tenaga atau umpan peluru”.
Kaum
muda harus menyadari krisis yang tengah menyelimuti Indonesia dan berusaha
untuk melampaui krisis-krisis itu untuk kemudian memperbaikinya sehingga mereka
pun pantas menjadi pemimpin hari ini dan masa mendatang.
Seperti
yang diungkapkan Max Depree, tanggungjawan seorang pemimpin adalah
mendefinisikan realitas. Dan usaha untuk mendefinisikan realitas itu membutuhkan
kepekaan-kepekaan terhadap kenyataan sosial yang tengah berlangsung. Sehingga
kita, kaum muda bisa menentukan realitas Indonesia seperti apa yang hendak
didefinisikan dan bagaimana realitas yang sudah didefinisikan itu diproyeksikan
di masa depan. (WWW. Budimansujatmiko.net)
Kaum
muda dimaksudkan adalah mereka yang mampu menafsirkan ulang masa lalu sehingga
tidak menjadi tawanan masa lalu itu sendiri baik itu oleh asumsi-asumsi
kadaluarsa maupun labirin konflik masa lalu yang menciutkan cakrawala.
Tapi,
hal itu tidak berarti kaum muda semacam itu harus meninggalkan keberakarannya
dalam realitas yang membentuk bangsa dan negara ini. Justru, mereka adalah kaum
muda yang sadar akan jalannya sejarah dari realitas yang mereka jalani hari
ini.
Realitas
utama yang harus menjadi kesadaran kaum muda adalah terkait dasar yang
mempersatukan Indonesia. Yang mempersatukan bangsa Indonesia dari Sabang sampai
Merauke adalah kesadaran dalam hati bahwa kita ini satu bangsa, bangsa
Indonesia. Karena itu, Anderson menyebutnya sebagai the imagine communitty. Karena kebangsaan Indonesia bukan sesuatu
yang alami, sesuatu yang berdasarkan bahasa dan budaya yang sama seperti
kebangsaan Polandia dan Korea.
Kebangsaan
Indonesia lahir dari tekad untuk bersama yang tumbuh dari sejarah pengalaman
perjuangan bersama demi kemerdekaan. Maka, kalau semangat persatuan itu menguap
atau tekad untuk bersama itu juga terkikis, maka tidak ada yang tertinggal.
Yang ada hanyalah kelompok-kelompok kecil berdasarkan bahasa, suku, agama, dan
kedaerahan yang berbeda-beda. Kalau kesatuan bangsa Indonesia merupakan hasil
pengalaman dalam sejarah, kalau kebangsaan Indonesia tumbuh dari kebhinekaan ke
yang tunggal ika, hal itu berarti kebangsaan itu bukan sesuatu yang taken for granted, tapi sesuatu yang
diusahakan dan harus dipelihara. (Franz Magnis-Suseno, 2012, h. 7-8)
Fakta
menunjukkan bahwa Indonesia sesungguhnya memiliki semua persyaratan untuk tidak
bersatu. Perbedaan dan keberagaman rakyat Indonesia begitu besar sehingga di
satu sisi merupakan sebuah “keajaiban” Indonesia menjadi bersatu seperti saat
ini. Bahkan, banyak negara yang menjadi terpecah-belah tanpa memiliki
keberagaman sekompleks Republik Indonesia ini. Tapi, tidak bisa dinafikan oleh
siapa pun adalah bahwa di antara semua perbedaan dan keberagaman itu, Indonesia
ternyata bersatu. (Sultan Hamengku Buwono X, 2007, h. 8)
Namun,
yang harus disadari adalah apabila unsur-unsur yang membangun imajinasi tentang
kebersamaan itu mulai luntur, sebagian bangsa merasa diabaikan, nasib mereka
tidak diperhatikan, harta mereka dieskploitasi secara tidak adil, maka rasa
persatuan itu pun akan menguap. Seperti yang diungkapkan Romo Magnis Suseno,
kebangsaan Indonesia bukan merupakan sebuah fakta, melainkan sebuah panggilan
luhur; panggilan untuk mewujudkan persatuan sedemikian rupa sehingga semua
warga bangsa merasa terangkat dan terdukung oleh kebangsaan mereka. (Franz
Magnis-Suseno, 2012, h. 7-8)
Dalam
konteks bernegara, keadilan sosial menjadi kata kunci hasrat etis yang musti
diwujudkan. Negara harus adil. Bangsa Indonesia tercipta dari kerelaan
bangsa-bangsa untuk menjadi satu, karena itu kerelaan tersebut harus dihargai
oleh negara dengan memperlakukan bangsa-bangsa itu secara adil. Dalam hal ini,
adil berarti seluruh bangsa, segenap insan Indonesia dapat hidup utuh sebagai
manusia dan utuh sebagai warga negara. Dan itu mungkin hanya apabila kebutuhan
dasar segenap insan Indonesia dapat terpenuhi.
Maka
penciptaan kondisi-kondisi yang memungkinkan segenap warga bangsa dapat
menjamin kebutuhan-kebutuhan dasarnya harus menjadi prioritas pembangunan yang
diprakarsai oleh negara. Negara keadilan sosial adalah tuntutan solidaritas
bangsa. Solidaritas itulah dasar persatuan sebuah bangsa yang majemuk. Bukti
solidaritas sosial suatu bangsa adalah bagaimana ia memperlakukan warga
negaranya yang paling lemah; mereka yang fakir-miskin, kelompok-kelompok
minoritas, para perempuan, atau semua mereka yang tidak dapat membantu diri
mereka sendiri. (Franz Magnis-Suseno, 2012, h. 31-32)
Dan,
realitas itu yang musti tertambat dalam hati dan sanubari serta diperjuangkan
oleh kaum muda sebagai pemimpin hari ini maupun pemimpin di masa depan.
Persatuan Indonesia bukan sesuatu yang alami, melainkan sangat tergantung dari
sikap kita bersama. Persatuan itu mungkin karena dialami sebagai sesuatu yang
luhur, yang melahirkan semangat untuk berkorban, yang mendorong rakyat untuk
memberikan yang terbaik demi Indonesia, yang menjatuhkan air mata kebanggaan
ketika bendera Indonesia dikibarkan dalam berbagai event.
Dari
sudut pandang itu kita pantas bangga, namun dari sudut pandang lain, kita juga
pantas cemas. Karena mencermati hasil studi Arend Lijphard, mengenai demokrasi
di negara-negara plural. Ia mengidentifikasi, dari 114 negara, hanya 15% di
antaranya yang dapat digolongkan sebagai demokrasi yang stabil yang berasal
dari masyarakat plural, yang umumnya berasal dari masyarakat yang kurang lebih
homogen (low and moderate pluralism).
(Sultan Hamengku Buwono X, 2007, h. 13)
Masyarakat
yang plural di Dunia Ketiga acapkali terjatuh pada instabilitas yang rawan
disintegrasi. Indonesia yang terdiri atas masyarakat yang plural,
multikultural, dan sangat heterogen, pada dasarnya tak memiliki jaminan untuk
tidak mengalami disintegrasi.
Kondisi
akhir-akhir ini menurut beberapa kalangan sudah menunjukkan gejala ke
disintegrasi itu. Hal tersebut ditandai oleh semakin menjamurnya forum-forum
yang mencoba untuk menyuarakan identitas ras, membangkitkan sentimen suku,
menyemarakkan tradisi-tradisi daerah, serta menyuarakan keunikan-keunikan,
keunggulan-keunggulan dan perbedaan-perbedaan di antara masing-masing daerah.
Menurut
Huntington, fenomena itu merupakan gejala moderniasai dan globalisasi.
Modernisasi dan globalisasi ternyata tidak serta merta melahap semua
keunikan-keunikan yang ada diberbagai belahan dunia dan menjadikan homogen.
Bahkan, yang terjadi adalah fenomena peningkatan kesadaran etnik, kultural,
serta agama. Moderniasai, pertumbuhan ekonomi, urbanisasi, dan globalisasi
telah mendorong masyarakat untuk memperkecil jati diri mereka yang
diterjemahkan dalam pengertian kemasyarakatan yang lebih sempit dan intim. (Sultan
Hamengku Buwono X, 2007, h. 5)
Jati
diri subnasional etnis, komunal, dan jati diri regional lebih diutamakan
daripada jati diri nasional yang lebih luas. Akan tetapi penyempitan jati diri
itu berlangsung beriringan dengan perluasan jati diri karena masyarakat semakin
banyak berinteraksi dengan bangsa lain yang memiliki adat-istiadat dan
peradaban yang berbeda. Penyempitan jati diri ini bisa dilihat dari misalnya,
gencarnya kembali ke etnisitas di panggung politik Indonesia akhir-akhir ini.
Namun
demikian, fenomena kembali ke etnisitas
tersebut bukanlah sesuatu yang selalu negatif. Tuntutan otonomi etnis di
dalam belahan dunia saat ini umumnya di dasarkan pada alasan tidak adanya
pengakuan atas perbedaan kultur dan survivalitas ekonomi kelompok. Tidak adanya
pengakuan terhadap budaya etnis tersebut diduga berkaitan dengan strategi
pembangunan yang berorientasi pada kapitalisme sehingga memarginalisasikan
perekonomian rakyat etnis. Selama ini distribusi dan penataan ekonomi dirasakan
tidak adil.
Dalam
istilah Garin Nugroho, terjadinya penghianatan atas kodrat yang merupakan
talenta alami bangsa diduga kuat sebagai pemicu utama berbagai masalah mendasar
yang saat ini dihadapi bangsa Indonesia. Kodrat yang dikhianati itu salah satunya
adalah multikulturalitas. (Sultan Hamengku Buwono X, 2007, h. 6)
Indonesia
adalah taman dunia. Seperti sebuah taman yang dipenuhi oleh berbagai macam
jenis bunga, tumbuhan, dan binatang yang mendiaminya. Ini merujuk pada
keanekaragaman Indonesia yang bukan saja terdiri dari 17.500 pulau yang
dihubungkan oleh lautan tetapi juga kekayaan etnis, budaya, dan keyakinan.
Sehubungan dengan hal tersebut, pelestarian nilai-nilai budaya daerah dengan
upaya mencari, menggali, dan mengkaji serta mengaktualisasikan kearifan budaya
tersebut merupakan modal dasar baru yang dapat digunakan untuk memperkukuh rasa
persatuan dan kesatuan bangsa.
Oleh
karena itu, di tengah arus reformasi dewasa ini, idiom yang harus dijadikan
basis strategi penguatan perekat simpul persatuan Indonesia adalah bhineka tunggal ika. Artinya, sekalipun
satu, tidak boleh dilupakan bahwa sesungguhnya bangsa ini berbeda-beda.
Pengalaman mengajarkan bahwa bukan semangat kemanunggalan (tuggal ika) yang potenisal bisa melahirkan kesatuan dan persatuan,
melainkan pengakuan akan pluralitas (kebhinekaan).
(Sultan Hamengku Buwono X, 2007, h. 14)
Sebagai
bangsa, Indonesia adalah masyarakat majemuk yang terdiri dari berbagai etnis
dan berada dalam keragaman budaya. Kemajemukan inilah yang kemudian membentuk
suatu kebudayaan bernama Indonesia. Harus diingat, masyarakat dan kebudayaan
baru itu bukanlah hasil persinggungan berbagai unsur budaya sehingga melahirkan
apa yang kini disebut sebagai rakyat dan kebudayaan Indonesia. Melalui
kreativitas, nilai-nilai budaya etnis yang kuat dan lentur akan terus
memberikan kontribusi dalam proses pembentukan kebudayaan baru tersebut.
Bangkitnya
semangat separatisme yang menggema hingga saat ini tidak lepas dari
ketidakpedulian para pemimpin akan kemajemukan Indonesia. Selama tigapuluhan
tahun pemerintahan Orde Baru, negara tidak mensyukuri rahmat Tuhan bagi bangsa
ini dengan berupaya melakukan penyeragaman-penyeragaman kebudayaan daerah
dengan gaya sentralistik. Sentralisasi kebudayaan tidak saja berdampak pada
timbulnya berbagai kesenjangan, tetapi juga meminggirkan berbagai
kantung-kantung kebudayaan daerah.
Nilai-nilai
budaya yang ada seharunya dilihat sebagai bagian dari masa depan Indonesia dan
dikembangkan secara kreatif. Sebab jika tidak, selain terus-menerus
dipinggirkan, kantung-kantung kebudayaan itu akan berubah menjadi devensif.
Ketika
sumpah diikrarkan oleh para pemuda tahun 1928 menjadi satu bangsa, satu negara,
dan satu bahasa Indonesia, haruslah dilihat bukan sebagai penghapusan
kekahasan, keunikan, dan kedaulatan budaya-budaya daerah. Penggabungan
daerah-daerah ke dalam wadah bernama Indonesia itu dilakukan secara sukarela.
Semangat sukarela itu kemudian menjadi semacam kontrak sosial yang murni karena
di sana tidak ada paksaan.
Oleh
karena itu, setiap daerah seharusnya dilihat sebagai bagaian yang utuh dari
keindonesiaan, di mana setiap daerah memiliki hak dan kewajiban yang sama,
dalam merekatkan persatuan dan kesatuan.Sangat tidak mudah memang, karena
selama ini budaya seperti yang diutarakan budayawan Mohamad Sobary bahwa bangsa
Indonesia sedang mengalami kondisi kebudayaan yang patologis akibat campur
tangan kekuasaan di masa lalu.
Sehingga
terasa hampir tidak ada lagi nilai-nilai yang kita banggakan sebagai gambaran
bangsa Indonesia yang ramah, beradab, mengedepankan kejujuran, serta dijiwai
oleh nilai-nilai luhur yang datang dari agama maupun budaya-budaya lokal.
Karena
kebudayaan telah mengalami proses pengkerdilan menjadi sekedar alat legitimasi
pengusa, untuk memulihkannya kembali memerlukan peningkatan kepercayaan diri.
Ketidakberdayaan tradisi dalam menghadapi kekuatan-kekuatan dari luar dirinya
tidak boleh dibiarkan begitu saja. Upaya-upaya pembakuan dan modernisasi yang
mengarah pada proses kematian tradisi harus dicegah karena hal itu berarti
sebuah proses penghilangan atas sumber identitas budaya bangsa. Dari berbagai
penelitian terlihat bahwa proses kematian dan atau mematikan tradisi berakibat
tragis pada masyarakat setempat. (Sultan Hamengku Buwono X, 2007, h. 23)
Berangkat
dari kekhawatiran tersebut, pembahasan mengenai tradisi perlu diberi perhatian
khusus. Pembahasan tradisi yang juga berarti pengkajian masyarakat memang
bukanlah sesuatu yang beku dan kaku tetapi secara dinamis haris tampil dalam
“ruh” baru. Keunikan dan kekhasan tradisi merupakan potensi yang dapat diolah
untuk menembus budaya global masa kini. Bagaimana kita menghargai nilai-nilai
kearifan lokal-tradisional kalau kita sendiri tidak mengenalnya. Padahal
sekarang budaya kita berdampingan dengan budaya modern yang membawa nilai-nilai
baru.
Ketakutan
pada nilai-nilai yang datang beriringan dengan modernisasi dan globalisasi
sebenarnya sudah tidak relevan. Menurut hemat saya, ketakutan itu lahir karena
kita tidak mengenal dengan baik bagaimana kebudayaan atau tradisi kita sendiri
mampu survive di tengah gempuran berbagai nilai yang datang dari luar. Proses
persentuhan budaya lokal dengan tradisi-tradisi besar dunia telah melahirkan
keragaman budaya nusantara yang lahir dari suatu proses “tawar-menawar”. Dalam
proses itu, kearifan tradisional sangat berperan mendorong perubahan bagi
terbentuknya keragaman budaya Nusantara.
Sesungguhnya
apa yang sekarang dikenal dengan globalisasi bukanlah hal yang baru. Dalam
modus dan skala yang berbeda, globalisasi dengan membawa budaya baru telah
berulangkali terjadi di Nusantara. Dalam istilah Dennys Lombard disebut sebagai
“proses pembaratan”. Bagi Lombard, proses pembaratan yang berlangsung sejak
masuknya para penjajah tidak dengan serta merta merubah secara substansial
kepribadian bangsa Indonesia. Bahkan, Raden Ajeng Karti, Soekarno, dan Ki Hajar
Dewantara, “berlomba-lomba” kembali untuk menemukan nilai-nilai luhur yang
tertanam dalam budaya dan tradisi nenek moyang mereka. Apa yang dikatakan Ki
Hajar Dewantara yang dikutif Lombard perlu kita cermati di sini;
“Kita
hidup seperti orang yang menumpang dalam hotel kepunjaan orang lain, tak
mempunyai nafsu akan memperbaiki atau menghiasi rumah jang kita tempati, karena
tidak ada perasaan bahwa rumah itu rumah kita. Dan pertjayalah, saudaraku
semua, selama kita pada zaman ini berpisah kultur dengan rakjat asli, selama
kita merendahkan bahasa kita, seni kita, keadaban kita, djanganlah kita
mengharapkan akan dapat mendjauhkan anak-anak kita dari keinginannja hidup
seperti Belanda-polan. Sebaliknja: kalau anak-anak kita dapat kita didik
sebagai anak-anak bangsa kita, agar djiwanya bersifat nasional dan mereka itu
dapat kembali memegang kultur bangsa awak, jang sejak abad jang lalu sudah
tidak hidup lagi di dalam dunia kita, karena hidup kita seolah-olah hidup dalam
perhambaan, pertjalah mereka itu akan merasa puas sebagai anak Indonesia. Dan
kalau kita sudah membangkitkan pula hidup kebangsaan kita, tentulah alat-alat
penghidupan asing jang berpaedah sadjalah jang kita ambil. Karena kita tida
lagi mabuk tjinta dan pribahasa “tjinta itu buta” tidak lagi mengenai diri
kita; achirnja kita lalu dapat memilih dengan fikiran dan rasa jang jernih.”
(Dennys Lombard, 2008, h. 237)
Konsep pendidikan yang ditawarkan Ki Hajar
Dewantara melalui Taman Siswa sangat dipengaruhi oleh nilai-nilai luhur yang
tersimpan dalam budaya Jawa, yakni ing
ngarso sung tulodho, ing madya mangun karso, tutwuri handayani.
Apa
yang dilakukan oleh Ki Hajar Dewantara tetap relevan untuk diteladani saat ini.
Meski mendapatkan pendidikan Barat di masa itu, dia tidak terlepas dari akar
dimana ia hidup dan perjuangkan. Di samping itu, Ki Hajar Dewantara telah
menunjukkan bahwa bangsa kita memiliki nilai-nilai luhur yang sangat melimpah
sebagai lentera yang menerangi jalannya kehidupan kita sebagai pribadi maupun
perjalanan bangsa ini.
Dunia
dengan kehidupan yang bernilai pada hakikatnya adalah perjalanan dari kumpulan
makna hasil refleksi yang terus-menerus untuk harkan dan nilai kemanusiaan.
Hanya dengan merefleksi kehidupan ini menjadi berarti dan layak dihidupi. Tanpa
refleksi, ia menjadi perjalanan yang berlalu-lalang tanpa arti. Refleksi juga
berarti menafsirkan. Menafsirkan juga berarti menemukan unsur terdalam yang
menggerakkan yang dipermukaan. Khazanah budaya yang tersembunyi dan tersimpan
memerlukan refleksi dan penafsiran ulang agar ia mendapat makna dari dunia yang
memberi arti bagi kehidupan.
Menggali Keteladanan
Kepemimpinan dalam Tradisi
“Sebuah
bangsa” kata Goenawan Moehammad dalam kata pengantar Wahyu yang Hilang Negeri yang Guncang karya Onghokham, adalah
sebuah bangunan yang tergopoh-gopoh mengejar dirinya sendiri.” Terutama di
Dunia Ketiga, ketergopohan itu tersirat dalam kegagapannya untuk menyesuaikan
nilai-nilai budayanya dengan kemajuan yang tengah diraih oleh bangsa-bangsa
lain. (Onghokham, 2003, h. xi)
Kegagapan
itu seringkali membuat kita mengalami rabun dekat. Suka meniru kemajuan yang
diaraih bangsa lain yang sangat susah untuk digapai, sementara di satu sisi
ogah melihat pada diri sendiri, untuk menemukan nilai-nilai luhur yang
sebenarnya kaya hanya saja terlalu tidak percaya diri untuk mengakuinya.
Dalam
khazanah budaya-budaya etnis Nusantara, sangat melimpah butir-butir kearifan
tradisi, yang jika diberi ruh baru dan direvitalisasi, akan memberi kontribusi
dalam merekat persatuan dan kesatuan bangsa maupun menjawab tantangan global.
Dengan demikian, yang harus dilakukan
oleh para pemimpin bangsa ini dan kaum muda tentunya adalah meneguhkan kembali
komitmen sebagai bangsa guna membangkitkan potensi yang terpendam guna
menyongsong masa depan yang lebih baik dengan tetap menjunjung tinggi prinsip
kebersamaan antar etnis dalam semboyan “duduk sama rendah, berdiri sama
tinggi”.
Jikalau
nilai-nilai kearifan itu tidak dijaga dan dipelihara, maka sudah dipastikan
lama-kelamaan dalam waktu yang tak terlalu jauh, kita akan mengalami proses
pemunahan, termasuk di dalamnya sumber yang sangat berharga bagi pembentukan
wacana kebudayaan Indonesia di masa mendatang. Gurindram 12 karya Raja Ali
Haji, mengingatkan betapa pentingnya adat-istiadat bagi eksistensi sebuah
bangsa. “padat tembaga jangan dituang,
kalau dituang melepuh jari, adat lembaga jangan dibuang, kalau dibuang binasa
negeri”. (Sultan Hamengku Buwono X, 2007, h. 26)
Selain
itu keteladanan seorang pemimpin juga sangat dibutuhkan. Nilai-nilai
kepemimpinan yang utama disampaikan oleh Karaeng Galesong, Raja Gowa yang
menentang VOC di Sulawesi Selatan, yang kemudian membantu perlawanan Trunojoyo
terhadap Amangkurat I yang dibantu
Belanda. Katanya;
“ikambe juru mudia = wahai pemimpin
Jarrekti tannang gulinnu = perkuat
pasang kemudimu
Nu tea lalo= jangan sekali-kali
Toali riminasannu = berpaling dari
harapan
Punggawa teako jekkong
= wahai pemimpin janganlah berbuat curang.”(
(Sultan Hamengku Buwono X, 2007, 26)
Kearipan
lokal seperti contoh-contoh di atas tersebar dalam ranah dan napas masyarakat
Indonesia. Dari Aceh sampai Papua terbentang kekayaan kearifan lokal tersebut.
Sedangkan kerinduan akan kaearipan itu dari hari-kehari cenderung semakin
meningkat.
Dalam
masyarakat modern sekarang ini, memang terasa ada kerinduan akan nilai-nilai
lama kearipan tradisi yang diharapkan bisa memberi jawaban atas kebutuhan masa
kini terutama kepemimpinan yang pantas dijadikan suri-tauladan. Karena kekuatan
terdahsyat seorang pemimpin adalah ketauladannya.
Secara
hipotesis dapat dikatakan bahwa nilai-nilai kepemimpinan dan kelembagaan
tradisional adalah relevan sehingga perlu diaktualisasikan serta
diimplementasikan. Berkaitan dengan itu, Schein
mengatakan bahwa “Culture and leadership
are really two sides of the same coin one can not understand one without the
other”. Pendeknya pembangunan yang mengabaikan nilai-nilai budaya akan
bermasalah karena kurang mempertimbangkan dimensi sosial budaya yang menjadi
bingkai laku hidup masyarakat tersebut.( (Sultan Hamengku Buwono X, 2007, h.
27)
Nilai-nilai
luhur itu sangat terang terpampang baik dalam seni-seni tradisional seperti
Wayang, tari-tarian, hingga karya-karya sastra seperti yang terdapat dalam
berbagai serat dan kanon. Dalam wayang misalkan, bagi masyarakat terutama
masyarakat Jawa dianggap sebagai medium pewarisan nilai-nilai. Wayang tidak
sekedar seni yang berfungsi sebagai hiburan dan tontonan semata, tetapi juga
mempunyai makna dan simbol kehidupan manusia.
Wayang
dengan segala keragamannya merupakan sebuah potret masyarakat. Sebagai sebuah
potret kehidupan, dalam simbolisasai masyarakat wayang juga ada kebenaran dan
kesalahan, ada kepicikan, ada tamak serakah, dan seluruh denyut kehidupan
manusia juga terkafer dalam sebuah pentas wayang. Dengan demikian, wayang juga
dapat dijadikan suri taudalan manusia karena di dalamnya terkandung suatu
pergumulan antara yang benar dan yang salah, yang diakhiri dengan pihak yang
benar.
Makna
simbolis dari pertunjukan wayang mengandung arti filosofis, yakni: layar dan
diterangi adalah dunia yang nyata dan wayangnya menggambarkan ciptaan Tuhan.
Gedebok batang pisang yang dipergunakan untuk menyangga wayang dengan
menancapkan cempurit wayang ke dalamnya menggambarkan permukaan dunia, Blencong
atau lampu yang dipasang di atas dalang adalah lambang keserasian kehidupan
dunia. (Anasom, 2004, h. 47)
Dalam
lakon wayang “wahyu Cokroningrat” menggambarkan turunnya wahyu roda dunia,
yakni wahyu penguasa dunia dan akhirat, terhadap beberapa ksatria yang tengah
memperebutkan wahyu itu. Awalnya, wahyu itu turun pada diri seorang ksatria
Astinaputra, Raden Lesmana Mandrakumara. Namun, wahyu itu tidak bertahan lama
tinggal di sana, dan pindah pada Ksatria Parang Garuda, Raden Samba atau
Wisnubrata. Dalam diri Raden Samba ini pun wahyu kekuasaan itu juga tidak
bertahan lama, dan kemudian berpindah dan menetap pada diri Raden Angkawijaya
atau Raden Abimanyu.
Alasan
kenapa wahyu kekuasaan itu tidak bisa menetap pada diri Raden Lesmana dan Raden
Samba karena hati kedua ksatria itu kurang suci. Raden Lesmana suka dimanja,
kurang prihatinnya, suka berbohong dan berpoya-poya, dan memiliki sifat tercela
lainnya. Demikian juga Raden Samba, ia memiliki watak yang tidak terpuji dan
suka mengumbar nafsu-birahinya. Raden Abimanyu yang mampu menerima “wahyu
Cokroningrat” itu dinilai oleh dewa mencukupi persyaratan yang telah
ditentukan, yakni sembada (sepadan
dengan kemampuannya), sepi ing pamrih (tidak
memiliki pamrih atau ambisi), tulus
pambegan (hati yang tulus ikhlas), jujur dan dadat dipercaya. Persyaratan
itu jelas menunjukkan bahwa hanya kesucianlah tempat bersinggasananya wahyu
kekuasaan. (Puji Santosa, 2010, h. 15)
Dalam
kebudayaan Jawa, kekuasaan adalah energi ilahi yang tanpa bentuk yang selalu kreatif
meresapi seluruh kosmos. Pada prinsipnya seluruh kekuasaan adiduniawi itu ada
dimana-mana tapi ada tempatnya, yaitu pada benda dan manusia dengan pemusatan
batin yang lebih tinggi. Kekuatan sakti itu disebut kasakten. Jadi, kekuatan politik adalah ungkapan kasakten sendiri. Kasakten atau biasa juga disebut “wahyu cokroningrat” ataupun
“wahyu kedaton”, didapatkan melalui laku tapa dan semadi untuk memusatkan
kekuatan kosmis itu.
Kekuasaan
sejati seorang raja, terpanpang dari kesejahtraan dan kemakmuran rakyat, tidak
terjadi bencana alam, pemberontakan, dan gejalaa-gejala negatif lainnya.
Sebagaimana kekuasaan merupakan hasil kemampuan untuk memusatkan kekuatan
kosmis dalam dirinya sendiri. Begitu pula seorang raja dapat kehilangan
kekuasaan apabila ia kehilangan kemampuan pemusatan itu. Tanda kekuasaan itu
lemah apabila muncul kekacauan-kekacauan baik yang disebabkan oleh
pemberontakan-pemberontakan maupun bencana alam, rasa tidak puas rakyat, dan
kebejatan moral semakin merajalela.
Sebagaimana
laku tapa dan samadi merupakan jalan untuk mencapai kasakten itu, begitu pula seorang penguasa kehilangan kasaktennya apabila ia mengikuti hawa
nafsu dan mengejar kepentingan-kepentingan pribadinya. Sikap itu oleh orang
Jawa disebut pamrih. Manusia
menunjukkan pamrihnya apabila ia mencari kenikmatan dan kekayaan pribadi.
Penguasa yang menyerah pada pamrihnya berarti tidak lagi sanggup untuk
menampung kekuasaan kosmis yang dimilikinya, melainkan menyerahkan diri pada
nafu dan kepentingan pribadinya.
Seorang
penguasa yang menyalahgunakan kekuasaannya untuk menuruti hawa nafsunya,
mengumpulkan kekayaan dan mencari hidup yang enak-enak saja, serta mulai
menindas bawahan dan rakyatnya, menghisap mereka dan berlaku sewenang-wenang,
singkatnya, seorang penguasa yang menyalahgunakan kekuasaan totalnya, dalam
filsafat politik Jawa, dengan demikian mempersiapkan keruntuhannya. Ia
memboroskan energi batin, semakin kasar dan semakin tergantung dari luar.
Menurut
Anderson, pertentangan antara yang baik dan buruk dalam wayang harus dipahami
sebagai pertentangan antara mereka yang bebas dari pamrih dan mereka yang
membiarkan kekuasaannya menguap karena pamrih dan oleh karena itu akhirnya juga
dikalahkan. Jadi, bahaya terbesar bagi kedudukan penguasa tidak datang dari
luar melainkan dari batin penguasa sendiri. Kekuatan-kekuatan dari luar tidak
dapat berbuat apa selama ia memuasatkan segala energi kosmis dalam dirinya
sendiri, tetapi kehilangan kekebalannya apabila ia membiarkan kekuatannya
menguap dengan mengejar kepentingan-kepentingan egonya. (Franz Magnis-Suseno,
1991, h. 98-105)
Filsafat
politik Jawa tersebut masih relevan dijadikan nilai-nilai terkait bagaimana
kekuasaan itu musti dijalankan. Secara teknis, barangkali konsep kekuasaan yang
bersumber dari kekuatan adikodrati itu tidak lagi cocok dalam masyarakat
demokratis saat ini. Namun, nilai-nilai luhur yang terkandung dalam konsep
kekuasaan itu akan terus relevan sebagai nilai ideal seorang pemimpin.
Apa
yang diungkapkan dalam filsafat kekuasaan di atas juga berlaku kapan pun. Bahwa
hanya pemimpin yang memiliki budi luhur, menjunjung moralitas, mementingkan
kepentingan rakyat daripada kepentingan pribadinya, dan rela menderita demi
rakyatnya adalah pemimpin yang akan bertahan baik di takhtanya maupun di hati
rakyat banyak. Sementara raja atau presiden yang lalim, gemar menyiksa dan
menyengsarakan rakyatnya, korup, dan mementingkan kepentingan dirinya,
keluarga, dan kelompoknya, tidak akan bertahan dari takhta maupun dari hati
rakyatnya. Sejarah mencatat bahwa semua kekuasaan yang dibangun dengan landasan
kekerasan, kelaliman, dan korupsi, tidak akan pernah bertahan lama.
Shindunata
dalam novelnya Putri Cina, (2007) menggambarkan raja yang kehilangan wahyu
kekuasaannya karena pamrih dan
kelaliman dalam sosok Prabu Murhado, raja kerajaan Medan Kemulan Baru. Mulanya
sang Prabu Murhado adalah raja yang sangat baik, kelakuannya memancarkan sifat tyas manis kang mantesi, (pribadinya
mengantakan hati yang manis, baik, dan murah hati. Dia juga memancarkan pribadi
ruming wicara kang mranani (meski
sangat sederhana kata-katanya seperti wewangian yang menarik hati). Hal itu
disebabkan karena wataknya sinembuh laku
utama atau segala ucapannya adalah perbuatannya sekaligus.
Namun,
tidak lama kemudian rakyat menyebut kerajaan mereka dengan kerajaan Pedang Kemulan yang bermakna rakyat
selalu merasa tertekan dibawah kelaliman dan kekerasan penguasa. Rajanya
disebut Prabu Amorco Sabdo, yang
berarti raja yang menghianati kata-katanya sendiri. Kata-kata raja memang tak
dapat dipercaya lagi, layaknya kata-kata pendeta yang suci bijaksana yang tak
pernah berbohong kepada manusia (sabda
pandhita ratu).
Janjinya
untuk menyejahtrakan rakyat dan kehidupan keadilan tak pernah terlaksana. Raja
tak pernah merasa bersalah kalau mereka berbohong. Gawatnya, sikap itu juga
diikuti oleh pengikutnya. Mereka juga suka berbohong.
Maka
jadilah negara Pedang Kemulan menjadi
negara pembohong. Ini disebabkan karena raja tidak pernah merasa bersalah bahwa
ia berbohong dan mengkhianati perkataannya sendiri. Raja sudah lupa bahwa
martabatnya adalah ratu yang bila berjanji harus setulus dan sejujur seorang pandhita atau pendeta. Rakyat Pedang Kemulan tak lagi merasakan
kebenaran janjinya. (Shindunata, 2007, h. 97)
Cerita
Prabu Murhado atau Prabu Amorco Sabdo yang diceritakan Shindunata tersebut,
barangkali adalah metafora yang tidak langsung berkaitan dengan pristiwa atau
kejadian sejarah yang sebenarnya. Cerita tersebut barangkali penggambarannya
tentang kekuasaan Presiden Soeharto. Di masa-masa awal pemerintahaannya, Presiden
Soeharto sangat disanjung oleh rakyat, ia dianggap sebagai seorang pemimpin
yang mampu menyejahtrakan rakyat, ketenangan dan kesukaannya mengumbar senyum
dipercaya lahir dari pribadi yang baik dan bijaksana.
Namun,
lama-kelamaan rakyat mersaka tertekan di bawah kekuasaan Presiden Soeharto yang
menekankan stabilitas dan menghukum tanpa pengadilan yang fair bagi siapa saja yang mengkritik pemerintahannya.
Pemerintahannya mulai boros oleh korupsi keluarga dan kroni-kroninya. Di akhir
masa pemerintahannya, ia bagaikan selang air yang bocor dan oleh karena itu
tidak lagi bisa dipakai untuk menyemprotkan air secara terarah dan penuh
tekanan. Kekuasaannya tidak lagi efektif, karena pamrih atau nafsu pribadi dan keluarganya lebih dipentingkan
daripada rakyatnya.
Oleh
karena itu dalam filsafat Jawa sangat menekankan cita-cita mengenai, sepi ing pamrih, rame ing gawe, mamayu
hayuning bawana. Sepi ing pamrih memuat kerelaan untuk tidak lagi mengejar
kepentingan-kepentingan sendiri tanpa perhatian terhadap masyarakat, rame ing gawe memuat arti kelakuan yang
tepat dalam dunia, terdiri dalam kesetiaan memenuhi kewajiban masing-masing,
yang berarti juga mamayu hayuning bawana,
secara sederhana berarti memperindah dunia. (Franz Magnis-Suseno, 1991, h.
98-105)
Menurut
saya, konsep kepemimpinan yang terkandung dalam sepi ing pamrih, rame ing gawe, mamayu hayuning bawana, citra yang
dibutuhkan bangsa ini. Pemimpin-pemimpin yang menjalankan kekuasaannya dengan
menempatkan kepentingan rakyat di atas segalanya, tugas dan tanggungjawab itu
dilakukan dengan penuh keihlasan, kejujuran, dan berdedikasi, demi lahirnya
keindahan tata sosial dengan mewujudkan kemakmuran dan kesejahtraan rakyat.
Seperti
yang disebutkan dalam Serat Nitisruti, pupuh Pucung bait 19 disebutkan: “milanipun, bangkit nentremaken kayun, saking
anggenira, bangkit merih arjaning bumi, de genira angraharjakken bawana” (maka
dari itu, Engkau harus mampu meredekan kehendak dengan caranya mampu
menciptakan kesejahtraan dan memakmurkan dunia). (Anasom, 2004, h. 106). Dalam
ajaran Prabu Arjuna Sasrabahu disebut sebagai ngarsa dana upaya, yang berarti pemimpin sebagai seorang ksatria
senantiasa berada terdepan dalam mengorbankan tenaga, waktu, materi, pikiran
bahkan jiwanya sekalipun demi kesejahtraan dan kelangsungan hidup masyarakat.
(HM.Nasruddin Anshory CH, 2008, h. 28)
Sebagai
bangsa yang sangat majemuk dengan kekayaan nilai-nilai luhur, Indonesia tidak
akan mengalami kekeringan nilai dan kebijaksanaan asalkan kita mau dan berupaya
menggali nilai-nilai itu. Dari sejumlah konsep tentang kekuasaan, sebenarnya
masih banyak konsep lain yang “membatasi” sehingga seorang raja tidak bisa
bersikap sewenang-wenang dalam menjalankan perintahnya.
Ungkapan
bahwa raja harus berbudi bawa laksana
ambeg adil para marta menyiratkan bahwa seorang raja harus dapat
menciptakan keadilan dan keamanan rakyat dan negara seperti dalam ungkapan anjaga tata titi tentring praja. Dengan
demikian, seharusnya seorang raja tidak hanya menjadi penghukum, tetapi juga
menjadi penegak hukum sebagai manifestasi dari upaya menegakkan keadilan.
Berpegang
pada konsep semacam itu, seorang penguasa harus bijaksana dalam menjalankan
kekuasaan dan pemerintahan. Kebijaksanaan itu lebih sering ditampilkan sebagai
mampu mengambil keputusan yang tepat dalam menghadapi situasi. Dalam serat
Nitisruthi, pupuh Pucung, bait 28 juga disebutkan, “sang sinuwun, denira mantrapken hukum, adil awarata, prasasat samodra
agni, nadyan aneng, siluk sungil kawasesa, (Sang raja, dalam menerapkan
hukum, harus dilaksanakan seadil-adilnya, ibarat lautan api, kemanapun yang
salah tetap dihukum). (Anasom, 2004, h. 109).
Keadilan
itu ditunjukkan dengan tidak memandang siapa pun dalam menghukum. Meskipun
terdakwa adalah keluarga raja, namun terbukti bersalah maka ia harus tetap
mendapat hukuman. Dalam serat Nistisruti, pupuh Kinanti, bait 2 disebutkan; “sanadyang sanak sadulur, yen durjana den
pateni, saari ratri nora sah, titipriksa ngosak-asik, salwiring kang solah
salah, tinesan tanpa lirip (walau sanak saudara sendiri, bila penjahat
dibunuhnya, siang malam tiada henti, meneliti dan memperhatikan, semua yang
berbuat jahat, dihabisi tanpa sisia) (Anasom, 2004, h. 109).
Meskipun
dalam konteks kerajaan, seorang raja dianggap sebagai pusat jagat raya atau
sebagai wakil Tuhan di muka, sehingga perintahnya adalah perintahan ketuhanan
dan membangkang kepadanya sama dengan membangkang kepada Tuhan. Hal itu tidak
berarti bahwa seorang raja bisa bertingkahlaku sekehendak hatinya. Dalam
filsafat politik Jawa, secara ideal dalam kekuasaan sudah inharen mengandaikan
etika dan moralitas. Karena dalam konsep
itu, seorang raja tidak akan memiliki kekuasaan yang sejati selama ia belum
mampu menguasai hasrat atau nafsu pribadinya.
Nilai-nilai
filosofis yang tersimpan dalam berbagai serat dan kisah pewayangan juga
mengajarkan bahwa kekuasaan itu tidak bisa diraih secara mudah. Melainkan
dicapai dengan terlebih dahulu melakukan tapa berata, sukses melampaui berbagai
rintangan dan pantangan yang berkaitan dengan hasrat duniawi, bersih hati, dan
berbudi luhur. Dalam cerita Mahabarata, dikisahkan bahwa Bima dalam rangka
persiapan perang agung Bratayuda antara kaum Pandawa dan Kurawa. Gurunya
Panditha Durna yang dalam perang Bratayuda itu menjadi guru rohani para Kurawa
memerintahkan Bima untuk mencari air hidup yang terdapat dalam gua Condromuko
di sebuah hutan belantara. Bima berangkat tanpa mencurigai perintah itu meski
sudah dilarang oleh para saudaranya. Di tengah hutan, ia menebang semua pohon
untuk menemukan air hidup itu. Perbuatannya membuat kemarahan dua raksasa
penunggu hutan dan sesudah perkelahian hebat dengan kedua raksasa itu Bima
berhasil membunuh kedua-duanya dan sekaligus berhasil membebaskan kedua raksasa
tersebut dari kutukan Batara Guru. Mereka kemudian berubah kembali ke wujud
semula menjadi Dewa Indra dan Bayu dan dengan rasa terimakasih memberitahu
kepada Bima bahwa air hidup itu tidak bisa ditemukan di dalam hutan.
Bima
kembali kepada Durna yang kemudian menjelaskan bahwa air hidup itu bisa
ditemukan di dasar Samudra. Meski mulai curiga dengan penjelasan itu, Bima
tetap pergi untuk menemukan air hidup itu. Setelah perjalanan panjang, Bima
sampai di tengah pantai dan langsung menyeburkan diri ke tengah samudra. Di
sana Bima di serang oleh raksasa Nemburnawa namun berhasil ia kalahkan. Dalam
keadaan sunyi sepi di tengah samudra itu tiba-tiba muncul wujud kecil mirip
dengan Bima yang memperkenalkan diri sebagai Dewaruci, yang merupakan
penjelmaan yang maha kuasa sendiri. Ia mengajak Bima untuk memasuki batinnya
melalui telinga kirinya. Di dalam batin Dewaruci itulah Bima ternyata menemukan
air kehidupan itu atau kesempurnaan jiwa. Dewaruci adalah dimensi batin
ketuhanan yang terdapat dalam hati Bima. Hal itu memberi pelajaran bahwa
kesempunaan itu tidak didapatkan melalui benda-benda duniawi yang digambarkan
dalam air kehidupan itu, namun melalui kebenaran yang terdapat dalam batin
seseorang.
Dalam
konteks kepemimpinan, setelah mencapai realitas hidup yang terdalam itu, Bima
menjadi penguasa seluruh bumi. Secara filosofis kisah Bima itu menunjukkan
bahwa kesempurnaan yang mengantarkannya sebagai seorang raja atau penguasa
seluruh jagad diraihnya dengan berat dan dalam kepayahan melawan berbagai
rintangan dan cobaan. Hutan belantara dan kedua raksasa itu menjadi pelajaran
bagi kira semua bahwa kekerasan duniawi itu harus mampu dilawan demi mencapai
cita-cita tertinggi, yang dalam kisah Bima, dapat disebut sebagai Manunggaling Kawula Gusti.
Dalam
etika kepemimpinan, konsep manunggaling
kawula Gusti itu dapat juga berarti bahwa seorang pemimpin harus bersatu
dengan rakyat, bersatu untuk merasakan kegetiran hidup yang dialami rakyat, bukan hanya berada di
atas singgasana kebesaran dengan para
dalang-dalang disekelilingnya. (G. Budi Subanar, 2010, h. 84).
Dalam
iklim demokrasi seperti saat ini, konsep manunggaling
kawula Gusti seperti yang disampaikan Budi Subanar tersebut sangat relevan,
karena kekuasaan itu bukan sesuatu yang datang secara langsung dari kekuatan
adikodrati (Tuhan), melainkan dari segenap warganegara. Sehingga slogan “suara
rakyat adalah suara Tuhan” tepat dalam konteks ini. Jadi, penguasa harus manunggal dengan Tuhan yang
dipersonifikasi dalam umatnya, atau rakyat banyak.
Nilai-nilai
luhur yang bersumber dari kedalaman budaya dan tradisi bangsa ini tidak bisa
dipungkiri sungguh sangat kaya. Namun, kedangkalan hati kita untuk secara sadar
dan menggali nilai itu membuat seakan kita tak mempunyai dasar atau sumber
rujukan dalam melihat dan mencecap realitas yang terus berubah ini.
Oleh
karena itu, kesadaran utama lainnya yang harus tertambat dalam lubuk hati dan
batok kepala kaum muda adalah kesadaran kebudayaan. Jika pemuda sudah merasa
malas terlebih tidak percaya diri untuk menengok sejenak pada warisan-warisan
tradisi dan budaya bangsa demi melecat kencang ke masa depan, maka dalam hal
ini kita patut pesimis pada nasib bangsa ini di masa kemudian.
Kaum
muda adalah harapan bangsa hari ini, untuk merefleksi dan menafsirkan masa lalu
dan realitas hari ini demi kemajuan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI)
di masa mendatang.
Daftar
Rujukan
Denys
Lombard, Nusa Jawa: Silang Budaya – Batas-Batas Pembaratan, (Jakarta: Gramedia,
2008), Cet. 4,
Franz
Magnis-Suseno, Etika Kebangsaan-Etika Kemanusiaan, (Yogyakarta: Kanisius, 2012), cet. 5,
Franz
Magnis-Suseno, Etika Jawa; Sebuah Analisa Falsafi Tentang Kebijaksanaan Hidup
Jawa, (Jakarta: Gramedia, 1991), cet. 5.
G.
Budi Subanar, Manunggaling Kawula-Gusti Dalam Transisi; Potret Dunia Jawa dari
Yogyakarta. Dalam kumpulan essai “Sesudah Filsafat”, (Yogyakarta: Kanisius,
2010), cet. 5
Onghokham,
Wahyu yang Hilang, Negeri yang Guncang, (Jakarta: PDAT Tempo, 2003), cet. 1
Shindunata,
Putri Cina, (Jakarta: Gramedia, 2007),
HM.
Nasruddin Anshory CH, Neopatriotisme; Etika Kekuasaan dalam Kebudayaan Jawa,
(Yogyakarta: LKIS, 2008), cet. 1, h. 24
Puji
Santosa, Kekuasaan Zaman Edan; Derajat Negara Tanpak Sunya-Ruri, (Yogyakarta:
Pararaton, 2010) Cet. 1
(ed)
Anasom, Membangun Negara Bermoral; Etika Bernegara dalam Naska Klasik
Jawa-Islam, (Semarang, Pustaka Rizki Putra, 2004), cet. 1,
Sultan
Hamengku Buwono X, Merajut Kembali
Keindonesiaan Kita, (Jakarta: Gramedia, 2007),
Kuntowijoyo,
Buaya dan Masyarakat, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2006), cet. 1
Hendra
Nurtjahjo, S.H., M.Hum, Filsafat Demokrasi, (Jakarta: PT Bumi Aksara, 2008),
Cet. 2
Benget
Silitonga, Kratos Minus Demos; Demokrasi Indonesia, Catatan dari Bawah, (Medan:
Bakumsu, 2012) Cet. 1,
Denny J.
A., Visi Indonesia Baru Setelah Reformasi 1998, (Yogyakarta; LKIS, 2006) Cet. 1
Komaruddin
Hidayat, Politik Panjat Pinang; Di mana Peran Agama (Jakarta: Kompas, 2006)
Cet. 1
F. Budi
Hardiman, Filsafat Pragmentaris, (Yogyakarta, Kanisius, 2011) cet. 5
Benny
Susetyo, Hancurnya Etika Politik, (Jakarta: Kompas, 2004), Cet. 4
Komaruddin
Hidayat, Tragedi Raja Midas; Moralitas Agama dan Krisis Moderniasme, (Jakarta:
Mizan, 1998), Cet. 1,
Rocky
Gerung, Kita dan Politik. Dalam kata pengantar Kembalinya Politik; Pemikiran
Politik Kontemporer dari (A)rend sampai (z)izek.
M.
Alfan Alfian, Perbincangan Kepemimpinan dan Kekuasaan, (Jakarta: Gramedia,
2009), h. 194.
Mourizio
Passerin d’Entreves, Filsafat Politik Hannah Arendt, (Yogyakarta: Penerbit
Qalam, 2003), cet. 1,
Franz
Magnis-Suseno, Etika Politik; Prinsip-Prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern,
(Jakarta: Gramedia, 1988), cet. 2
Tidak ada komentar:
Posting Komentar