Oleh: Husnul Aqib
Pendahuluan
Beberapa
dekade terakhir, regionalisme menjadi kecenderungan dunia di tengah arus
globalisasi yang mendatarkan.[1] Regionalisme mempromosikan kerjasama dan integrasi, yang
memungkinkan suatu kawasan untuk mencapai posisi yang lebih baik dalam
integrasi global, untuk meningkatkan rasa persatuan, solidaritas, kerjasama,
antar negara yang tergabung dalam suatu regionalisme tertentu, dan meningkatkan
kesejahtraan dan mencapai posisi yang lebih baik dalam politik dan ekonomi
dunia. Peningkatan regionalisme di kawasan Asia Tenggara dalam organisasi ASEAN
harus dilihat dalam konteks tersebut.
Maksud
dan tujuan pembentukan ASEAN pada 1967 adalah untuk mewujudkan, di satu sisi,
kerjasama di bidang budaya, pendidikan, teknis, ekonomi, sosial, dan di sisi
lain dalam promosi perdamaian dan stabilitas kawasan. Baharumshah, Onwuka, dan
Habibullah menekankan bahwa
salah satu tujuan fundamental ASEAN adalah
menyatukan negara-negara Asia Tenggara untuk menghadang pengaruh ideologi
komunisme dari Cina, dan bahwa pembentukan ASEAN merupakan tanggapan terhadap
perkembangan permusuhan eksternal seperti perang Vietnam dan gaung revolusi
China yang semakin meningkat dan meluas.[2]
Kondisi
yang menandai kawasan Asia Tenggara tatkala konsepsi ASEAN dirumuskan sangat
menentukan pola kerjasama dan hubungan di antara negara-negara anggota di awal
pembentukannya. Pada saat itu, Asia Tenggara ditandai dengan ketidakstabilan
dan diperburuk oleh keterbelakangan yang menjadi tipikal negara-negara yang
sedang membangun dirinya dari keterpurukan selama kolonialisme. Pada awalnya,
negara-negara yang mempelopori ASEAN mengejar tujuan terutama di bidang
politik, perdamaian, dan keamanan. Sebagaimana diungkapkan Simon, alasan utama
keberadaan ASEAN adalah untuk melindungi kedaulatan negara-negara pendiri.
Mereka belajar untuk saling percaya, mengembangkan kebiasaan bekerjasama, dan
menumbuhkan kepercayaan dan niat baik. Oleh karena itu, pada awal kelahirannya,
menjaga perdamaian dan stabilitas kawasan adalah bahasa utama atau landasan
diplomasi ASEAN. Tujuan ini kemudian diterjemahkan ke dalam berbagai program
sektoral di kawasan.[3]
Setelah
berakhirnya perang dingin pada dekade 80-an, isu-isu ideologi yang mengungukung
dunia dan demikian halnya dengan ASEAN mulai tersingkirkan, dan kerjasama
kawasan semakin intensif dan menyeluruh dalam berbagai bidang, seperti
kerjasama ekonomi dan sosiak-kebudayaan. Pada intinya, organisasi ini telah
mengalami perkembangan yang signifikan dalam transormasi intra-regional. Dalam
upaya menempa integrasi dan kerjasama yang lebih solid di antara negara-negara
anggota, ASEAN melangkah lebih lanjut dengan merumuskan sebuah proyek besar,
yakni penciptaan ASEAN Community (Komunitas ASEAN). Rencana ini secara resmi
ditetapkan pada KTT IX di Bali tahun 2003.
ASEAN
Community akan ditopang oleh tiga pilar yang akan saling mengikat dan
memperkuat Komunitas ASEAN dalam upaya mewujudkan kemakmuran, stabilitas,
keamanan, perdamaian, dan peningkatan kerjasama di antara negara-negara anggota
di segala bidang. Dengan terbentuknya, ASEAN Community terbuka peluang bagi
peningkatan kerjasama, baik di bidang politik, keamanan, ekonomi, dan
sosial-kebudayaan secara konfrehensif. Tidak hanya itu, dengan terbentuknya
komunitas tersebut maka ASEAN dapat berdiri sejajar dengan komunitas-komunitas
regional lainnya, seperti Uni Eropa dan lain-lain.
Akan tetapi,
proyek raksasa yang rencanya akan terwujud tahun 2015 ini ternyata mengandung
sejumlah permasalahan yang berpotensi mengganjal optimisme akan proyek ini.
Salah satu persoalan besar itu adalah terkait rendahnya kesadaran, pemahaman,
dan persepsi publik terhadap proyek ini. Sebagaimana ditunjukkan oleh survey
yang dilakukan oleh Guido Benny dan Kamarulnizam Abdullah antara Juni dan
Desember 2009 mengenai “Perceptions and Attitudes toward the ASEAN Community”
yang dilakukan di lima kota besar Indonesia yakni Jakarta, Makkasar, Pontianak,
Medan, Pontianak, dan Surabaya.[4] Kesimpulan besar survey yang melibatkan 399 responden dengan
pendidikan tinggi atau setidaknya setingkat diploma ini menunjukkan bahwa
sebagian besar dari responden tidak memiliki kesadaran, pemahaman dan persepsi
yang baik mengenai pembentukan Komunitas ASEAN. Survey itu juga menunjukkan
bahwa Komunitas ASEAN masih jauh untuk menjadi isu bersama (common issue)
di masyarakat. Rendahnya kesadaran, pemahaman, dan persepsi publik ini
disebabkan oleh beberapa hal, di antaranya kurangnya sosialisasi yang diterima
oleh publik, dan di sisi lain, gagasan mengenai Komunitas ASEAN ini lebih
bersifat top-down, elitis, dan state-centric.
Kenyataan
tersebut kemudian cenderung membenarkan argumen beberapa kalangan bahwa ASEAN
memang sebuah asosiasi elitis dan state-centric. Hal tersebut juga
sekaligus membenarkan kritik beberapa sarjana, bahwa proses pembentukan
Komunitas ASEAN hanya melibatkan para elit, pejabat pembuat kebijakan,
komunitas bisnis negara-negara anggota, dan melupakan masyarakat umum sebagai
dasar utama dalam proses pembentukan komunitas tersebut.
Apabila
dibandingkan dengan organisasi regional lainnya, seperti Uni Eropa, dapat
dilihat bahwa gagasan ASEAN tidak memiliki salah satu komponen yang paling
penting yang telah membawa keberhasilan organisasi regional tersebut, yakni
keterlibatan masyarakat umum atau berbasis pada masyarakat. Keberhasilan Uni
Eropa seperti sekarang ini dalam integrasi ekonomi, politik dan sosio-kultural
karena didukung oleh konsensus dan keterlibatan masyarakatnya. Keberhasilan ide
Uni Eropa tidak hanya disebabkan oleh kebijakan, tetapi juga persepsi positif,
penerimaan, dan pemahaman publik. Bahkan sebelum gagasan Uni Eropa benar-benar
terformalisasi, penelitian secara ekstensif dilakukan oleh para pembuat
kebijakan bekerjasama dengan akademisi untuk memastikan pemahaman dan
penerimaan masyarakat mengenai gagasan komunitas regional tersebut.[5]
Bagaimana
Uni Eropa melibatkan publiknya dalam proses pembentukannya menjadi satu
komunitas regional patut dicontoh oleh ASEAN, karena masyarakat tentu saja
merupakan aktor kunci proses regionalisasi dan mereka pula yang secara langsung
akan terpengaruhi oleh pembentukan komunitas regional tersebut. Masyarakat umum
harus menjadi bagian integral dari proses integrasi regional.
Rendahnya
kesadaran dan pemahaman publik, serta kurangnya keterlibatan mereka dalam
proses pembentukan ide Komunitas ASEAN menunjukkan ambiguitas dari proyek
raksasa ini. Sementara para pemimpin negara-negara anggota ASEAN meyakini bahwa
perwujudan integrasi politik-keamanan dan integrasi ekonomi hanya bisa bermakna
ketika ada masyarakat yang peduli dan saling berbagai, namun di sisi lain
optimisme tersebut menunjukkan sisi paradoksalitas tersendiri, karena mustahil
mewujudkan “caring and sharing society”[6] ketika
kesadaran dan pemahaman publik masih sangat rendah.
Keputusan
untuk bergabung dalam satu komunitas mengandaikan adanya sense of community sebagai
elemen perekat kesatuan di antara para aktor. Sense of community adalah
suatu perasaan bahwa para anggotanya mempunyai rasa memiliki, satu perasaan di
mana para anggota saling peduli, dan berbagi kepercayaan bahwa kebutuhan
anggotanya dapat terpenuhi melalui komitmen mereka untuk bersama”.
Keputusan
untuk memasukkan pilar Komunitas Sosial-Budaya di antara pilar-pilar yang
menopang ASEAN merupakan keputusan yang sangat tepat. Karena melalui pilar ini
kerjasama di bidang sosial-budaya menemukan salurannya. Kerjasama di bidang
sosial-budaya ini sangat penting untuk mencapai integrasi di ASEAN melalui “a
caring and sharing community” yakni sebuah tatanan masyarakat intra ASEAN
yang saling peduli dan berbagi, memperkokoh sense of community, dan
solidaritas sesama warga ASEAN.
Fokus
bahasan tulisan ini mengenai problem bangunan identitas Komunitas ASEAN.
Problem yang menjadi sorotan utama terkait identitas komunitas tersebut adalah
mengenai rendahnya kesadaran, pemahaman, dan penerimaan publik terhadap gagasan
pembangunan Komunitas ASEAN serta konsekuensi bagi terbangunnya komunitas yang
solid dan kokoh. Oleh karena itu, dari ketiga pilar yang menyokong Komunitas
ASEAN, maka tulisan ini lebih memfokuskan pembahasannya pada pilar ketiga, ASCC
yang mana salah satu tujuannya adalah membangun identitas bersama Komunitas
ASEAN. Tulisan ini juga mengulas mengenai bagaimana peran dan posisi yang
seharusnya dimainkan oleh kaum muda sebagai subjek utama dalam berbagai program
Komunitas ASEAN, khususnya ASCCA.
Menjadi
Komunitas ASEAN
Ada
tiga komunitas yang dibayangkan oleh ASEAN yang akan mendorong pembangunan
komunitas di Asia Tenggara. Yang pertama adalah ASEAN Political-Scurity
Community (APSC) yang bertujuan untuk membawa hubungan politik dan keamanan
ASEAN ke tempat yang lebih tinggi, membangun kawasan yang hidup dalam damai
dengan lingkungan yang demokratis dan harmonis. Yang kedua ASEAN Economic
Community (AEC) yang merupakan tujuan dari integrasi regional. AEC
bermaksud memperkuat integrasi ekonomi di kawasan dan menjadikan ASEAN sebagai
pasar tunggal dan basis produksi. Hal ini diyakini akan mempersempit
kesenjangan pembangunan di antara negara-negara anggota dan penciptaan
kesejahtraan dan kemakmuran bagi warga ASEAN secara keseluruhan. Yang ketiga
adalah ASEAN Socio-Culture Community bertujuan melengkapi dan memperkuat kedua
pilar sebelumnya. ASCC bermaksud berkontribusi bagi terwujudnya Komunitas ASEAN
yang berbasis pada masyarakat, mengantisipasi dampak yang timbul sebagai akibat
dari integrasi ekonomi dalam kawasan, membentuk solidaritas dan persatuan abadi
antara bangsa-bangsa dan rakyat ASEAN dengan menempa identitas bersama, dan
membangun masyarakat peduli dan berbagi yang ingklusif dan harmonis, dimana
kesejahtraan dan mata pencaharian ditingkatkan.[7]
Proyek
Komunitas ASEAN memang sebuah gagasan besar bagi terwujudnya integrasi kawasan
yang solid dan stabil. Namun, bagaimana menjadikan satu kawasan yang sangat multikultur dan multietnis,
kesenjangan pertumbuhan ekonomi yang signifikan, serta sistem dan ideologi
politik yang berbeda-beda, menjadi satu komunitas besar?
Dalam
kajian ilmu sosial, terminologi komunitas merujuk pada pengertian nilai-nilai
bersama, norma-norma, dan simbol-simbol yang memberi identitas atau perasaan
kekitaan (sense of we-ness). Karena itu secara sederhana, istilah
pembangunan komunitas dapat diartikan sebagai pembangunan perasaan kekitaan.
Menurut Emanuel Adler dan Michel Barnet, komunitas memiliki tiga karakteristik.
Pertama, para anggota komunitas berbagai identitas-identitas, nilai-nilai dan
pengertian-pengertian. Kedua, mereka yang ada dalam komunitas memiliki hubungan
langsung dalam berbagai keadaan dan tatacara. Ketiga, komunitas menunjukkan suatu
resiprositas yang mengekspresikan derajat tertentu kepentingan jangaka panjang
dan mungkin bahkan bersifat altruisme.[8]
Namun,
dalam disiplin ilmu internasional, pembangunan komunitas sering dianggap kerja
raksasa. Alasan utamanya karena pembangunan komunitas menyiratkan upaya
meruntuhkan keyakinan kalangan realis yang menyatakan bahwa logika fundamental
yang mengatur hubungan antarnegara di tataran internasional adalah anarki.
Menurut kalangan realis, norma-norma, simbol-simbol, dan identitas kebersamaan
hanya dapat diwujudkan pada tataran nasional, bukan pada tataran internasional.
Oleh karena itu, pembentukan Komunitas ASEAN dalam sudut pandang kalangan
realis merupakan langkah raksasa karena bangunan identitas regional jauh lebih
rumit dari bangunan kebangsaan, terlebih mengingat negara-negara anggota sangat
multikultural dan multietnis.
Upaya
Asia Tenggara untuk menjadi satu komunitas bisa dipastikan akan menghadapi
medan terjal, bahkan menunjukkan ambiguitas dalam pelaksanaannya. Ambiguitas
tersebut datang dari eksistensi negara-negara anggota ASEAN itu sendiri. Upaya
kerjasama komunitas yang melingkupi hubungan tradisional dalam bidang
politik-keamanan, integrasi ekonomi, dan berusaha membuat komunitas
sosial-kebudayaan bersama akan menampilkan pepatah yang sering diungkapkan,
yakni unity in diversity atau kesatuan dalam keragaman.[9]
Ambiguitas
yang saya maksud terutama berasal dari falsah ini. Keragaman adalah sebuah
konsep yang secara akurat menawan Asia Tenggara. Secara politis, ada berbagai
model pemerintahan di wilayah tersebut; ada monarki absolut, ada demokrasi, ada
negara one-party, dan ada negara konstitusional dan terbatas. Secara ekonomi,
ada negara yang sangat maju dengan perkembangan yang pesat, sementara ada
negara yang stagnan. Dalam bidang sosial-budaya – dan bidang inilah yang
menurut saya paling problematik – tidak jelas bagaimana para pemimpin negara-negara
anggota ASEAN mengkonseptualisasi suatu bentuk kesatuan identitas, dan
solidaritas antarbangsa yang sangat plural dan multikultur.
Komunitas
ASEAN bisa dianggap sebagai apa yang populer diperkenalkan oleh Benedict T.
Anderson, sebagai “imagined community”.[10] Bahwa dalam konteks Komunitas ASEAN, komunitas adalah sesuatu yang
terbayang karena para anggota bangsa terkecil sekalipun, tidak akan kenal
sebagian besar anggota yang lain, tidak akan bertatap muka dengan mereka,
bahkan mungkin tidak pernah mendengar tentang mereka. Namun di benak setiap
orang yang menjadi anggota komunitas, hidup sebuah bayangan tentang
kebersamaan. Akan tetapi, komunitas sebagai “imagined community” dalam konteks
Komunitas ASEAN juga masih mengandung ambiguitas yang sangat kentara, karena
terminologi yang digunakan Anderson ini juga mengandaikan terdapatnya suatu
elemen pemersatu yang juga bersifat terbayang, yakni hasrat bersama yang lahir
dari penderitaan penjajahan. Sementara dalam konteks ASEAN Community, masih
sangat sulit menentukan suatu imagined apa pun sebagai elemen pemersatu
dan pembentuk identitas bersama.
Dengan
kata lain, ambiguitas bangunan Komunitas ASEAN terletak pada kesulitan untuk
menemukan sebuah identitas bersama yang menjadi elemen utama pembentuk suatu
komunitas. Andaipun, upaya untuk menemukan identitas bersama ini terus
dilakukan, sangat sulit membayangkan entitas apa dan dari tumpukan historis dan
kebudayaan siapa di antara anggota ASEAN yang akan digunakan. Kalaupun solusi
yang paling mungkin adalah menciptakan sebuah identitas bersama yang
benar-benar baru, yang tidak dibangun dari nilai-nilai luhur masa lalu,
melainkan konstruksi dari aktor kreatif yang bergabung dalam komunitas ini,
maka identitas tersebut telah dan akan diperebutkan dari waktu ke waktu.
Pembangunan identitas kawasan ASEAN akan diperebutkan tidak hanya sebagai
indikasi konflik negara-masyarakat tetapi lebih mendalam, antara “komunitas”
yang sedang dibangun oleh ASEAN dan individu.
Terlepas
dari kesukaran untuk menentukan satu bangunan identitas yang bersifat ajeg,
saya lebih condong ingin melihat bahwa proyek menjadi komunitas bukan merupakan
sesuatu yang final, melainkan sebagai narasi yang terus menjadi. Artinya, kita
tidak bisa mengharapkan ia terbentuk sekali jadi, melainkan dibentuk secara
terus-menerus. Jadi, apa yang ditanggung masyarakat ASEAN, apa yang akan
mengikat dan menyatukan mereka (kita) apa yang mereka (kita) miliki bersama,
harus masih terus dicari. Dan ini harus terus berlangsung.
ASCC
dan Tantangan Pembentukan Identitas Komunitas ASEAN
ASEAN
Socio-Culture Community (ASCC) merupakan prakarsa Filipina untuk melengkapi
kedua pilar yang lain. ASCC diharapkan meliputi pengembangan dimensi sosial dan
kebudayaan serta proses integrasi di ASEAN. Filipina mengajukan Plan of
Action (PoA) untuk mengkonkretkan komitmen ASEAN menjalankan ASCC. PoA itu
memiliki empat elemen inti, yakni: Membangun komunitas masyarakat peduli untuk
mengatasi kemiskinan, kesetaraan dan pembangunan manusia; mengelola dampak
sosial dari integrasi ekonomi dengan membangun sumber daya manusia yang
kompetitif dan sistem perlindungan sosial yang memadai; Meningkatkan
kelestarian lingkungan dan tata kelola lingkungan yang sehat; Memperkuat dasar
kohesi sosial terhadap Komunitas ASEAN.
Keempat
elemen ini tersebut kemudian dioperasionalisasikan di bawah ASCC Blueprint
menjadi enam karakteristik: pembangunan manusia (human development),
kesejahtraan dan perlindungan sosial (social welfare and protection), hak
dan keadilan sosial (social justice and right), memastikan kelestarian
lingkungan (ensuring environmental sustainability), membangun identitas
ASEAN (bulding ASEAN identity), dan mempersempit kesenjangan pembangunan
(narrowing the development gap).[11]
Pelaksanaan
konstruksi sosil-budaya ini dapat dianggap sebagai rekayasan besar yang pernah
terdengar sejak munculnya agama-agama besar yang memberikan payung pemersatu
bagi para pemeluknya. Namun ASCC bukan semata-mata gerakan ambisius ASEAN,
meskipun memang di kawasan dimana beberapa negara sebagian besar masih berada
pada tahap pembangunan, upaya membangun komunitas sosial-budaya memang cukup
berani. ASCC memasukkan berbagai kebijakan dan pembangunan kawasan yang tidak
ditemukan di APSC dan AEC, yakni keamanan manusia ASEAN yang seutuhnya. Jika
APSC terutama berkaitan dengan keamanan dan hubungan di tingkat negara, dan AEC
bertujuan untuk menjaga stabilitas pasar dan perdagangan, maka fokus ASCC
adalah keamanan manusia yang berbasis pada masyarakat (people-centered).[12]
Terlepas
dari niat tersebut, harus diakui ASCC merupakan pilar paling lemah dari
Komunitas ASEAN dan lebih merupakan aspirasi dibandingkan sebuah tujuan. Karena
itu, perhatian harus lebih ditunjukkan untuk membuat kemajuan di bidang ini.
Sumber daya besar harus disiapkan untuk mencapai tujuan ASCC. Peningkatan
mekanisme koordinasi harus terus dikembangkan, dan kerjasama yang lebih besar
antar negara anggota dalam kerangka ASEAN harus dipromosikan untuk menggapi
berbagai tujuan yang luas dari ASCC. Pemimpin yang peduli dan administrasi yang
efektif niscaya dibutuhkan jika proyek Komunitas ASEAN ini hendak
direalisasikan pada 2015. Menentukan sistem untuk menilai perkembangan dari
pelaksanaan semua pilar Komunitas ASEAN, khususnya ASCC harus ditentukan. Dan,
yang tidak kalah penting, merumuskan target yang lebih spesifik dan target yang
paling dibutuhkan saat ini adalah menjadikan Komunitas ASEAN ini sebagai isu
bersama (common issue) di kalangan masyarakat.
Begabung
dalam komunitas adalah proses identifikasi diri sebagai bagian dari komunitas
yang dibangun, dan ini mustahil terwujud ketika tidak ada kesamaan persepsi di
antara aktor-aktor yang akan terlibat. Bahkan kesan yang muncul dari cita-cita
menjadi “caring and sharing society” adalah kesan utopis, karena elemen
dasar yang memungkinkan tumbuhnya perasaan itu juga belum terbentuk. Inilah
tantangan terbesar Komunitas ASEAN saat ini; memastian kesadaran, pemahaman,
dan penerimaan publik terhadap isu ini.
Pembentukan
Komunitas ASEAN mendapat kritik tajam dari beberapa sarjana, karena
kecenderungan yang mengemuk dalam prosesnya hanya melibatkan politisi, para
pembuat kebijakan, komunitas-komunitas elit tertentu, namun melupakan
masyarakat umum sebagai dasar paling penting yang menopang pembentukan
komunitas tersebut. Dengan kata lain, asosiasi ini lebih bersifat elitis dan state
centric di bandingkan berbasis pada masyarakat.
Adalah
penting untuk disadari bahwa multikulturalisme adalah basis komunitas ini. Hal
ini mengingat bangsa-bangsa yang terlibat dalam komunitas ini juga terajut dari
heterogenitas kebudayaan, etnis, dan kepercayaan. Akan tetapi, apa yang berlaku
dalam Komunitas ASEAN dan ASCC khususnya adalah pembentukan identitas bersifat top-down
oleh negara-negara anggota melalui pemerintah mereka, baik dalam menentukan
target, tujuan dan proses. Terbukti, kesadaran, pemahaman, dan penerimaan
publik mengenai isu ini masih sangat rendah. Hal ini menimbulkan resiko bagi
perkembangan bagi Komunitas ASEAN dan ASCC atau ASEAN secara keseluruhan karena
pada akhirnya, visi sebagai satu komunitas mungkin sebenarnya didasarkan oleh
para elit, dan masyarakat internasional yang dibangun seperti ini cenderung
rapuh.[13] Sebagaimana diuraikan lebih lanjut oleh Severino bahwa, “tanpa
perasaan yang lebih dalam terhadap identitas regional, maka stabilitas abadi
dan integrasi ekonomi regional, serta saling percaya yang dibutuhkan untuk
mereka, tidak akan mungkin terwujud”.[14]
Dalam
blueprint ASCC, telah diserukan untuk membangun sebuah identitas ASEAN yang
akan “menjadi dasar kepentingan kawasan di ASIA Tenggara”. Identitas ASEAN
dimaksudkan sebagai “keperibadian, norma-norma, nilai-nilai, dan keyakinan
serta aspirasi kita bersama sebagai satu komunitas ASEAN”. Internalisasi
identitas bersama dalam benak setiap warga ASEAN menyimpan kerumitan yang sangat
fundamental. Gagasan integrasi kawasan yang selama ini lebih cenderung
dioperasionalkan oleh negara menyebabkan bangunan Komunitas ASEAN dengan
identitas bersama menjadi semakin rumit untuk terwujud, proses internalisasi
suatu kumpulan lengkap identitas tidak bisa terbangun sekali jadi. Di sisi
lain, identitas negara belum tentu menjadi identitas individu. Jadi,
sebagaimana diungkapkan Jonsson, bahwa apa yang ASEAN maksud sebagai identitas
bersama adalah tidak jelas sehingga dalam praktiknya hanya ada sedikit segi
mengenai bagaimana membuat semacam identitas bersama.[15]
Bangunan
identitas regional yang ajeg dan final memang sulit – bahkan sebagian
mengatakan mustahil – karena identitas bersama yang menjadi karakteristik satu
bangsa pun masih belum sepenuhnya menjadi konsensus bersama di masyarakat.
Terbukti di beberapa negara ASEAN, integrasi masih menjadi masalah serius yang
terus menghantui, termasuk di Indonesia. Namun faktor yang paling relevan
mempengaruhi kesadaran, pemahaman, dan penerimaan publik terhadap Komunitas
ASEAN terletak pada seberapa jauh masyarakat dilibatkan dalam proses
pembentukannya, dan karakteristik yang ditunjukkan komunitas ini, antara yang
bersifat elit dan state-centric atau berbasis pada masyarakat.
Survey
yang dilakukan oleh Guido Benny dan Kamarulnizam Abdullah juga menunjukkan
bahwa terdapat korelasi antara tingkat kesadaran, pemahaman, dan penerimaan
publik terhadap Komunitas ASEAN dengan ide dan implementasi program Komunitas
ASEAN. Semakin sedikit partisipasi publik maka kesadaran, pemahaman, dan
penerimaan mereka juga relatif rendah, begitu juga sebaliknya.[16]
Oleh
karena itu, tantangan yang harus diupayakan oleh ASEAN adalah memastikan
gagasan Komunitas ASEAN menjadi gagasan dan isu bersama di antara warga ASEAN,
sehingga identitas bersama dalam arti sense of community mungkin
terwujud, dan koneksi antar masyarakat sebagaimana diamanatkan Blueprint ASCC
juga mungkin terlaksana.
Peran
Kaum Muda dalam Bangunan Komunitas ASEAN
Pada
dekade 80-an, dunia sudah mengenal istilah revolusi “Triple T” untuk
menjelaskan terjadinya perubahan mendasar dalam perekonomian dunia dan hubungan
ekonomi antarbangsa yang dipicu oleh perkembangan pesat di bidang teknologi
telekomunikasi, transportasi, dan turisme. Revolusi ini menyebabkan pergerakan
barang dan jasa serta faktor-faktor produksi mengalir deras ke seluru pelosok
dunia. Globalisasi kemudian menjadi kosa kata yang paling banyak dibicarakan.
Dalam
perubahan dunia seperti itu, negara tidak lagi dapat mengisolasi diri dari
pergaulan global. Sementara di sisi lain, negara juga tidak dapat lagi
membatasi koneksi antar individu-individu. Pola diplomasi antar negara pun
mulai bergeser mengikuti perkembangan isu-isu global, regional serta kemajuan
teknologi. Apabila di masa lalu peran pemimpin negara dan diplomat sebagai
perwakilan negara tidak tergantikan dalam hubungan antar bangsa, maka untuk
saat ini peran negara semakin minim, dan digantikan oleh hubungan yang berserak
antara individu-individu di luar negara.
Kemajuan
teknologi informasi semakin menggantikan peran diplomat dan duta besar, karena
hubungan komunikasi dapat dilakukan dari titik manapun. Sebagaimana diungkapkan
Barry Fulton, “negara-negara yang semula dihubungkan oleh departemen luar
negeri dan aktivitas perdagangan sekarang terhubung melalui berjuta-juta
individu dengan memakai saluran optik, satelit, telepon kabel dan tanpa kabel
dalam sebuah jaringan yang kompleks tanpa pengawasan terpusat”.
Demikian
halnya dengan kemajuan media televisi dan audio visual lainnya mengakibatkan
intrupsi unsur-unsur kebudayaan asing tidak mudah dibendung. Namun hal ini
tidak harus dilihat melulu sebagai ekses negatif, karena penyebaran informasi
menjadi jauh lebih efektif, lebih mudah dibandingkan masa-masa sebelumnya.
Yang
penting untuk disadari – dalam konteks Komunitas ASEAN – adalah negara tidak
lagi bisa mengisolasi warganya dari berinteraksi dengan warga dari negara lain,
sebaliknya negara harus menempatkan warganya sebagai aktor kunci dalam proses
hubungan internasional. Oleh karena itu, pola hubungan diplomatik yang
cenderung konservatif harus dikurangi, sebaliknya praktek-praktek diplomasi
untuk mengakomodir berbagai perubahan yang menyebabkan peningkatan peran media
dan partisipasi masyarakat harus semakin ditingkatkan. Praktek diplomasi yang
menjadikan masyarakat sebagai aktor utamanya ini biasa disebut diplomasi
publik. Diplomasi model ini memungkinkan terjadinya hubungan diplomatik antar
individu, antar komunitas, atau antar korprat.
Komunikasi
yang bebas tanpa sekat-sekat akibat kemajuan teknologi informasi memungkinkan
terjalinnya hubungan yang semakin intensif dan aktif, sehingga gagasan-gagasan
yang nantinya mempengaruhi masyarakat tidak hanya dipahami dan disepakati oleh
elit atau pejabat-pejabat tinggi negara. Hubungan komunikasi yang intensif dan
aktif akan melahirkan hubungan dialogis di antara warga ASEAN sehingga
kesadaran, pemahaman, dan penerimaan satu sama lain mungkin terwujud.
Aktor
sentral yang akan menentukan keberhasilan Komunitas ASEAN adalah kaum muda.
Mereka menjadi aktor strategis tidak semata-mata karena kesan yang selama ini
melekat dalam diri mereka, yakni kritis, cerdas, dan terbuka, namun disebabkan
oleh posisi mereka sebagai subjek utama berbagai program yang telah disepakati
dalam blueprint Komunitas ASEAN, khususnya ASCC. Oleh karena itu, jika pemuda
sebagai subjek utama kurang tersosialisasi mengenai gagasan Komunitas ASEAN ini
maka niscaya keberhasilan proyek ini disangsikan karena subjek utamanya
bersifat pasif.
Posisi
strategis pemuda juga berkaitan dengan akses teknologi komunikasi. Mereka
adalah strata terbesar pengguna dan pengakses jaringan internet, konsumen
terbesar telekomunikasi, dan target utama perusahaan-perusahaan media. Oleh
karena itu, seharusnya tidak sukar untuk mempromosikan budaya ASEAN kepada
mereka. Menarik untuk dianalisa fenomena belakangan ini, terkait dengan
maraknya budaya Korea, Cina, Jepang dan budaya Barat yang diintroduksi melalui
media televisi, di mana sebagian kaum muda mengidentifikasi diri dengan
budaya-budaya “asing” tersebut. Melihat fenomena tersebut, seharusnya promosi
kebudayaan ASEAN yang tak kalah kreatif dan menyimpan nilai estetika yang
tinggi mampu merajai di kawasan ini.
Faktor
lain yang membuat posisi kaum muda sebagai subjek sosialisasi gagasan Komunitas
ASEAN adalah tingkat mobilitas mereka yang cukup tinggi. Kosmpolitasnisme anak
muda terutama di kota-kota besar memungkinkan interaksi antar negara semakin
besar. Salah satu karakteristik kosmopolitanisme adalah meleburnya sekat-sekat
yang menghadang penerimaan dan pemahaman satu sama lain. Anak muda juga
tergabung dalam berbagai organisasi massa, seperti partai politik, Lembaga
Swadaya Masyarakat (LSM), organisasi keagamaan, organisai bisnis, dan
organisasi kepemudaan lainnya.
Keterlibatan
publik, terutama anak muda menentukan sejauh mana cita-cita ASCC menjadi “caring
and sharing community”. Karena publik dan anak muda adalah aktor utama yang
membentuk komunitas ini.
Kesimpulan
Terlepas
dari rumitnya persoalan pemebentukan identitas bersama itu, penciptaan
Komunitas ASEAN merupakan perkembangan yang paling signifikan dalam sejarah
panjang perjalanan ASEAN. Urgensi dan relevansinya barangkali lebih menentukan
dibandingkan sebuah bangunan yang solid dan ajeg mengenai suatu identitas
bersama, meski persoalan ini tidak boleh dilupakan karena sebenarnya
menggabarkan persoalan yang sangat fundamental dari komunitas ini. Yang saya
maksud urgensi dan relevansi Komunitas ASEAN adalah terkait utilitasnya sebagai
komunitas yang akan memudahkan hubungan, koneksi, dan integrasi terutama dalam
ketiga pilar yang menyokongnya. Urgensi dan relevansi ASEAN bergerak menuju
kerjasama yang lebih baik dan erat, datang dari tantangan global dan
kebangkitan China dan India yang sudah semakin dekat sebagai kekuatan ekonomi
dunia. Oleh karena itu, penting bagi ASEAN untuk menyingkirkan semua hambatan
yang akan menghalangi integrasi dan kerjasama demi mewujudkan masyarakat yang
sejahtra dan makmur. Untuk hal ini, ASEAN telah memiliki seperangkat
kelembagaan yang akan mengatur dan menjadi koridor keterlibatan para angota
ASEAN. Implementasi blue print yang telah disepakati oleh masing-masing negara
anggota harus segera diwujudkan dalam aksi-aksi konkret, sehingga blue print
itu tidak hanya menjadi dokumen hitam di atas putih, yang tak berwujud apa-apa.
Dan yang terpenting upaya untuk mewujudkan Komunitas ASEAN sebagai issu bersama
(common issue) harus semakin gencar dilakukan karena hal ini penting bagi
pembentukan sentimen publik. Promosi dan sosialisasi mengenai proyek ini harus
terus disuarakan melalui berbagai media, sehingga proyek besar ini tidak hanya
menjadi prakarsa sekelompok pelaku, namun melibatkan ide dan prakarsa
masyarakat secara keseluruhan.
Anak
muda adalah kelas terbesar warga ASEAN. Kesadaran, pemahaman, dan penerimaan
mereka terhadap gagasan proyek Komunitas ASEAN menjadi penentu utama keberhasilan
proyek tersebut. Mereka adalah subjek utama dalam berbagai program yang
dirancang dalam blueprint Komunitas ASEAN, khususnya pilar ASCC, karena itu
keterlibatan mereka tidak hanya sebagai subjek pasif, melainkan menjadi
subjek-subjek yang ikut menentukan corak Komunitas ASEAN kedepan.
Mengenai
program-program aksi bagi terwujudnya Komunitas ASEAN khususnya ASCC telah
terancang dengan baik dalam blueprint masing-masing pilar yang menyokong
komunitas ini. Problem utama adalah sejauh mana perkembangan berbagai program
tersebut telah diimplementasikan dalam aksi-aksi konkret di masyarakat.
Daftar
Pustaka
Friedman, Thomas L., A Brief History of The Twenty-First Century. Macmillan,
2007.
Guido, Benny and Kamarulnizam Abdullah, Indonesian Perception and
Attitudes Toward the ASEAN Community dalam Journal
of Current Southeast Asian Affairs, (Humberg: GIGA and Humberg University
Press, 2011), h. 40.
Amador, Julio S.; ASEAN Socio-Cultural Community: An Assessment of
its Institutional Prospects, (Electronic copy
available at: http://ssrn.com/abstract=1803830),
h. 12.
ASEAN
Secretariat, ASEAN Socio-Culture Community Blueprint, Jakarta, 2009.
ASEAN Secretariat, Roadmap for an ASEAN
Community 2009-2015, Jakarta, 2009.
CPF.
Luhulima, Masyarakat Asia Tenggara Menuju Komunitas ASEAN 20015, Jakarta: P2P
LIPI, 2008.
Anderson,
Benedict T, Imagined Communities; Komunitas-Komunitas Terbayang, Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2001, Terj.
Severino, Rodolfo C., ASEAN at Forty: A
balance sheet, dalam Southeast Asian Affairs, Singapore: ISEAS
Publications, 2008.
Jonsson, Kristina. "Unity-in-Diversity? Regional Identity
Building in Southeast Asia." Journal of Current Southeast Asian Affairs
, no. 2, 2010.
[1]Dalam buku The
World is Flat, Thomas L. Friedman mengatakan bahwa dunia ini didatarkan oleh
konvergensi 10 pristiwa yang berhubungan dengan politik, inovasi, dan
perusahaan. Perkembangan cepat yang membuat manusia semakin sibuk, semakin
dapat melihat satu sama lain meskipun dalam belahan bumi yang berbeda. Lihat,
Thomas L. Friedman, A Brief History of The Twenty-First Century, Macmillan,
2007.
[2]Benny Guido and Kamarulnizam Abdullah, Indonesian Perception and
Attitudes Toward the ASEAN Community dalam Journal
of Current Southeast Asian Affairs, (Humberg: GIGA and Humberg University
Press, 2011), h. 40.
[3]Julio S. Amador; ASEAN Socio-Cultural Community: An Assessment of
its Institutional Prospects, (Electronic copy
available at: http://ssrn.com/abstract=1803830),
h. 12
[4]Benny Guido and Kamarulnizam Abdullah, Indonesian Perception and
Attitudes Toward the ASEAN Community dalam Journal
of Current Southeast Asian Affairs, (Humberg: GIGA and Humberg University
Press, 2011).
[5]Benny Guido and Kamarulnizam Abdullah, Indonesian Perception and
Attitudes Toward the ASEAN Community dalam Journal
of Current Southeast Asian Affairs, (Humberg: GIGA and Humberg University
Press, 2011), h. 40.
[6]ASEAN
Socio-Culture Community Blueprint, (Jakarta: ASEAN Secretariat, 2009)
[8]Emmanuel Adler
dan Michael Barnett dalam CPF. Luhulima, Masyarakat Asia Tenggara Menuju
Komunitas ASEAN 20015, (Jakarta:P2P LIPI, 2008), h. 14-15.
[9]Julio S. Amador; ASEAN Socio-Cultural Community: An Assessment of
its Institutional Prospects, (Electronic copy
available at: http://ssrn.com/abstract=1803830),
h. 12
[10]Benedict T
Anderson, Imagined Communities; Komunitas-Komunitas Terbayang, (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2001), h. 8. Terj.
[11]ASEAN Socio-Culture
Community Blueprint, (Jakarta: ASEAN Secretariat, 2009)
[12]Julio S. Amador; ASEAN Socio-Cultural Community: An Assessment of
its Institutional Prospects, (Electronic copy
available at: http://ssrn.com/abstract=1803830),
h. 20
[13]Julio S. Amador; ASEAN Socio-Cultural Community: An Assessment of
its Institutional Prospects, (Electronic copy
available at: http://ssrn.com/abstract=1803830),
h. 30
[14]Rodolfo C.
Severino. ASEAN at Forty: A balance sheet, dalam Southeast Asian Affairs, (Singapore:
ISEAS Publications, 2008), h. 70.
[15]Kristina Jonsson. "Unity-in-Diversity? Regional Identity
Building in Southeast Asia." Journal of Current Southeast Asian Affairs
, no. 2 (2010): h. 43.
[16]Benny Guido and
Kamarulnizam Abdullah, Indonesian Perception and Attitudes Toward the ASEAN
Community dalam Journal of Current Southeast Asian
Affairs, (Humberg: GIGA and Humberg University Press, 2011).
please see also our video about the Socialization of ASEAN Socio Cultural Community (ASCC) at SMA Muhammadiyah 4 Jakarta.... just need 5 minutes to watch and 1 second to like our video hehehe our video link: https://www.youtube.com/watch?v=7ql-QRnmnmU
BalasHapusthanks you
http://gheazine.blogspot.co.id/