Jumat, 20 Desember 2013

ASEAN SOCIO-CULTURE COMMUNITY dan PERAN PEMUDA MENUJU ASEAN COMMUNITY 2015


Oleh: Husnul Aqib
Pendahuluan
Beberapa dekade terakhir, regionalisme menjadi kecenderungan dunia di tengah arus globalisasi yang mendatarkan.[1] Regionalisme mempromosikan kerjasama dan integrasi, yang memungkinkan suatu kawasan untuk mencapai posisi yang lebih baik dalam integrasi global, untuk meningkatkan rasa persatuan, solidaritas, kerjasama, antar negara yang tergabung dalam suatu regionalisme tertentu, dan meningkatkan kesejahtraan dan mencapai posisi yang lebih baik dalam politik dan ekonomi dunia. Peningkatan regionalisme di kawasan Asia Tenggara dalam organisasi ASEAN harus dilihat dalam konteks tersebut.
Maksud dan tujuan pembentukan ASEAN pada 1967 adalah untuk mewujudkan, di satu sisi, kerjasama di bidang budaya, pendidikan, teknis, ekonomi, sosial, dan di sisi lain dalam promosi perdamaian dan stabilitas kawasan. Baharumshah, Onwuka, dan Habibullah menekankan bahwa
salah satu tujuan fundamental ASEAN adalah menyatukan negara-negara Asia Tenggara untuk menghadang pengaruh ideologi komunisme dari Cina, dan bahwa pembentukan ASEAN merupakan tanggapan terhadap perkembangan permusuhan eksternal seperti perang Vietnam dan gaung revolusi China yang semakin meningkat dan meluas.[2]
Kondisi yang menandai kawasan Asia Tenggara tatkala konsepsi ASEAN dirumuskan sangat menentukan pola kerjasama dan hubungan di antara negara-negara anggota di awal pembentukannya. Pada saat itu, Asia Tenggara ditandai dengan ketidakstabilan dan diperburuk oleh keterbelakangan yang menjadi tipikal negara-negara yang sedang membangun dirinya dari keterpurukan selama kolonialisme. Pada awalnya, negara-negara yang mempelopori ASEAN mengejar tujuan terutama di bidang politik, perdamaian, dan keamanan. Sebagaimana diungkapkan Simon, alasan utama keberadaan ASEAN adalah untuk melindungi kedaulatan negara-negara pendiri. Mereka belajar untuk saling percaya, mengembangkan kebiasaan bekerjasama, dan menumbuhkan kepercayaan dan niat baik. Oleh karena itu, pada awal kelahirannya, menjaga perdamaian dan stabilitas kawasan adalah bahasa utama atau landasan diplomasi ASEAN. Tujuan ini kemudian diterjemahkan ke dalam berbagai program sektoral di kawasan.[3]
Setelah berakhirnya perang dingin pada dekade 80-an, isu-isu ideologi yang mengungukung dunia dan demikian halnya dengan ASEAN mulai tersingkirkan, dan kerjasama kawasan semakin intensif dan menyeluruh dalam berbagai bidang, seperti kerjasama ekonomi dan sosiak-kebudayaan. Pada intinya, organisasi ini telah mengalami perkembangan yang signifikan dalam transormasi intra-regional. Dalam upaya menempa integrasi dan kerjasama yang lebih solid di antara negara-negara anggota, ASEAN melangkah lebih lanjut dengan merumuskan sebuah proyek besar, yakni penciptaan ASEAN Community (Komunitas ASEAN). Rencana ini secara resmi ditetapkan pada KTT IX di Bali tahun 2003.
ASEAN Community akan ditopang oleh tiga pilar yang akan saling mengikat dan memperkuat Komunitas ASEAN dalam upaya mewujudkan kemakmuran, stabilitas, keamanan, perdamaian, dan peningkatan kerjasama di antara negara-negara anggota di segala bidang. Dengan terbentuknya, ASEAN Community terbuka peluang bagi peningkatan kerjasama, baik di bidang politik, keamanan, ekonomi, dan sosial-kebudayaan secara konfrehensif. Tidak hanya itu, dengan terbentuknya komunitas tersebut maka ASEAN dapat berdiri sejajar dengan komunitas-komunitas regional lainnya, seperti Uni Eropa dan lain-lain.
Akan tetapi, proyek raksasa yang rencanya akan terwujud tahun 2015 ini ternyata mengandung sejumlah permasalahan yang berpotensi mengganjal optimisme akan proyek ini. Salah satu persoalan besar itu adalah terkait rendahnya kesadaran, pemahaman, dan persepsi publik terhadap proyek ini. Sebagaimana ditunjukkan oleh survey yang dilakukan oleh Guido Benny dan Kamarulnizam Abdullah antara Juni dan Desember 2009 mengenai “Perceptions and Attitudes toward the ASEAN Community” yang dilakukan di lima kota besar Indonesia yakni Jakarta, Makkasar, Pontianak, Medan, Pontianak, dan Surabaya.[4] Kesimpulan besar survey yang melibatkan 399 responden dengan pendidikan tinggi atau setidaknya setingkat diploma ini menunjukkan bahwa sebagian besar dari responden tidak memiliki kesadaran, pemahaman dan persepsi yang baik mengenai pembentukan Komunitas ASEAN. Survey itu juga menunjukkan bahwa Komunitas ASEAN masih jauh untuk menjadi isu bersama (common issue) di masyarakat. Rendahnya kesadaran, pemahaman, dan persepsi publik ini disebabkan oleh beberapa hal, di antaranya kurangnya sosialisasi yang diterima oleh publik, dan di sisi lain, gagasan mengenai Komunitas ASEAN ini lebih bersifat top-down, elitis, dan state-centric.
Kenyataan tersebut kemudian cenderung membenarkan argumen beberapa kalangan bahwa ASEAN memang sebuah asosiasi elitis dan state-centric. Hal tersebut juga sekaligus membenarkan kritik beberapa sarjana, bahwa proses pembentukan Komunitas ASEAN hanya melibatkan para elit, pejabat pembuat kebijakan, komunitas bisnis negara-negara anggota, dan melupakan masyarakat umum sebagai dasar utama dalam proses pembentukan komunitas tersebut.
Apabila dibandingkan dengan organisasi regional lainnya, seperti Uni Eropa, dapat dilihat bahwa gagasan ASEAN tidak memiliki salah satu komponen yang paling penting yang telah membawa keberhasilan organisasi regional tersebut, yakni keterlibatan masyarakat umum atau berbasis pada masyarakat. Keberhasilan Uni Eropa seperti sekarang ini dalam integrasi ekonomi, politik dan sosio-kultural karena didukung oleh konsensus dan keterlibatan masyarakatnya. Keberhasilan ide Uni Eropa tidak hanya disebabkan oleh kebijakan, tetapi juga persepsi positif, penerimaan, dan pemahaman publik. Bahkan sebelum gagasan Uni Eropa benar-benar terformalisasi, penelitian secara ekstensif dilakukan oleh para pembuat kebijakan bekerjasama dengan akademisi untuk memastikan pemahaman dan penerimaan masyarakat mengenai gagasan komunitas regional tersebut.[5]
Bagaimana Uni Eropa melibatkan publiknya dalam proses pembentukannya menjadi satu komunitas regional patut dicontoh oleh ASEAN, karena masyarakat tentu saja merupakan aktor kunci proses regionalisasi dan mereka pula yang secara langsung akan terpengaruhi oleh pembentukan komunitas regional tersebut. Masyarakat umum harus menjadi bagian integral dari proses integrasi regional.
Rendahnya kesadaran dan pemahaman publik, serta kurangnya keterlibatan mereka dalam proses pembentukan ide Komunitas ASEAN menunjukkan ambiguitas dari proyek raksasa ini. Sementara para pemimpin negara-negara anggota ASEAN meyakini bahwa perwujudan integrasi politik-keamanan dan integrasi ekonomi hanya bisa bermakna ketika ada masyarakat yang peduli dan saling berbagai, namun di sisi lain optimisme tersebut menunjukkan sisi paradoksalitas tersendiri, karena mustahil mewujudkan “caring and sharing society”[6] ketika kesadaran dan pemahaman publik masih sangat rendah.
Keputusan untuk bergabung dalam satu komunitas mengandaikan adanya sense of community sebagai elemen perekat kesatuan di antara para aktor. Sense of community adalah suatu perasaan bahwa para anggotanya mempunyai rasa memiliki, satu perasaan di mana para anggota saling peduli, dan berbagi kepercayaan bahwa kebutuhan anggotanya dapat terpenuhi melalui komitmen mereka untuk bersama”.
Keputusan untuk memasukkan pilar Komunitas Sosial-Budaya di antara pilar-pilar yang menopang ASEAN merupakan keputusan yang sangat tepat. Karena melalui pilar ini kerjasama di bidang sosial-budaya menemukan salurannya. Kerjasama di bidang sosial-budaya ini sangat penting untuk mencapai integrasi di ASEAN melalui “a caring and sharing community” yakni sebuah tatanan masyarakat intra ASEAN yang saling peduli dan berbagi, memperkokoh sense of community, dan solidaritas sesama warga ASEAN.
Fokus bahasan tulisan ini mengenai problem bangunan identitas Komunitas ASEAN. Problem yang menjadi sorotan utama terkait identitas komunitas tersebut adalah mengenai rendahnya kesadaran, pemahaman, dan penerimaan publik terhadap gagasan pembangunan Komunitas ASEAN serta konsekuensi bagi terbangunnya komunitas yang solid dan kokoh. Oleh karena itu, dari ketiga pilar yang menyokong Komunitas ASEAN, maka tulisan ini lebih memfokuskan pembahasannya pada pilar ketiga, ASCC yang mana salah satu tujuannya adalah membangun identitas bersama Komunitas ASEAN. Tulisan ini juga mengulas mengenai bagaimana peran dan posisi yang seharusnya dimainkan oleh kaum muda sebagai subjek utama dalam berbagai program Komunitas ASEAN, khususnya ASCCA.
Menjadi Komunitas ASEAN
Ada tiga komunitas yang dibayangkan oleh ASEAN yang akan mendorong pembangunan komunitas di Asia Tenggara. Yang pertama adalah ASEAN Political-Scurity Community (APSC) yang bertujuan untuk membawa hubungan politik dan keamanan ASEAN ke tempat yang lebih tinggi, membangun kawasan yang hidup dalam damai dengan lingkungan yang demokratis dan harmonis. Yang kedua ASEAN Economic Community (AEC) yang merupakan tujuan dari integrasi regional. AEC bermaksud memperkuat integrasi ekonomi di kawasan dan menjadikan ASEAN sebagai pasar tunggal dan basis produksi. Hal ini diyakini akan mempersempit kesenjangan pembangunan di antara negara-negara anggota dan penciptaan kesejahtraan dan kemakmuran bagi warga ASEAN secara keseluruhan. Yang ketiga adalah ASEAN Socio-Culture Community bertujuan melengkapi dan memperkuat kedua pilar sebelumnya. ASCC bermaksud berkontribusi bagi terwujudnya Komunitas ASEAN yang berbasis pada masyarakat, mengantisipasi dampak yang timbul sebagai akibat dari integrasi ekonomi dalam kawasan, membentuk solidaritas dan persatuan abadi antara bangsa-bangsa dan rakyat ASEAN dengan menempa identitas bersama, dan membangun masyarakat peduli dan berbagi yang ingklusif dan harmonis, dimana kesejahtraan dan mata pencaharian ditingkatkan.[7]
Proyek Komunitas ASEAN memang sebuah gagasan besar bagi terwujudnya integrasi kawasan yang solid dan stabil. Namun, bagaimana menjadikan satu kawasan  yang sangat multikultur dan multietnis, kesenjangan pertumbuhan ekonomi yang signifikan, serta sistem dan ideologi politik yang berbeda-beda, menjadi satu komunitas besar?
Dalam kajian ilmu sosial, terminologi komunitas merujuk pada pengertian nilai-nilai bersama, norma-norma, dan simbol-simbol yang memberi identitas atau perasaan kekitaan (sense of we-ness). Karena itu secara sederhana, istilah pembangunan komunitas dapat diartikan sebagai pembangunan perasaan kekitaan. Menurut Emanuel Adler dan Michel Barnet, komunitas memiliki tiga karakteristik. Pertama, para anggota komunitas berbagai identitas-identitas, nilai-nilai dan pengertian-pengertian. Kedua, mereka yang ada dalam komunitas memiliki hubungan langsung dalam berbagai keadaan dan tatacara. Ketiga, komunitas menunjukkan suatu resiprositas yang mengekspresikan derajat tertentu kepentingan jangaka panjang dan mungkin bahkan bersifat altruisme.[8]
Namun, dalam disiplin ilmu internasional, pembangunan komunitas sering dianggap kerja raksasa. Alasan utamanya karena pembangunan komunitas menyiratkan upaya meruntuhkan keyakinan kalangan realis yang menyatakan bahwa logika fundamental yang mengatur hubungan antarnegara di tataran internasional adalah anarki. Menurut kalangan realis, norma-norma, simbol-simbol, dan identitas kebersamaan hanya dapat diwujudkan pada tataran nasional, bukan pada tataran internasional. Oleh karena itu, pembentukan Komunitas ASEAN dalam sudut pandang kalangan realis merupakan langkah raksasa karena bangunan identitas regional jauh lebih rumit dari bangunan kebangsaan, terlebih mengingat negara-negara anggota sangat multikultural dan multietnis.
Upaya Asia Tenggara untuk menjadi satu komunitas bisa dipastikan akan menghadapi medan terjal, bahkan menunjukkan ambiguitas dalam pelaksanaannya. Ambiguitas tersebut datang dari eksistensi negara-negara anggota ASEAN itu sendiri. Upaya kerjasama komunitas yang melingkupi hubungan tradisional dalam bidang politik-keamanan, integrasi ekonomi, dan berusaha membuat komunitas sosial-kebudayaan bersama akan menampilkan pepatah yang sering diungkapkan, yakni unity in diversity atau kesatuan dalam keragaman.[9]
Ambiguitas yang saya maksud terutama berasal dari falsah ini. Keragaman adalah sebuah konsep yang secara akurat menawan Asia Tenggara. Secara politis, ada berbagai model pemerintahan di wilayah tersebut; ada monarki absolut, ada demokrasi, ada negara one-party, dan ada negara konstitusional dan terbatas. Secara ekonomi, ada negara yang sangat maju dengan perkembangan yang pesat, sementara ada negara yang stagnan. Dalam bidang sosial-budaya – dan bidang inilah yang menurut saya paling problematik – tidak jelas bagaimana para pemimpin negara-negara anggota ASEAN mengkonseptualisasi suatu bentuk kesatuan identitas, dan solidaritas antarbangsa yang sangat plural dan multikultur.
Komunitas ASEAN bisa dianggap sebagai apa yang populer diperkenalkan oleh Benedict T. Anderson, sebagai “imagined community”.[10] Bahwa dalam konteks Komunitas ASEAN, komunitas adalah sesuatu yang terbayang karena para anggota bangsa terkecil sekalipun, tidak akan kenal sebagian besar anggota yang lain, tidak akan bertatap muka dengan mereka, bahkan mungkin tidak pernah mendengar tentang mereka. Namun di benak setiap orang yang menjadi anggota komunitas, hidup sebuah bayangan tentang kebersamaan. Akan tetapi, komunitas sebagai “imagined community” dalam konteks Komunitas ASEAN juga masih mengandung ambiguitas yang sangat kentara, karena terminologi yang digunakan Anderson ini juga mengandaikan terdapatnya suatu elemen pemersatu yang juga bersifat terbayang, yakni hasrat bersama yang lahir dari penderitaan penjajahan. Sementara dalam konteks ASEAN Community, masih sangat sulit menentukan suatu imagined apa pun sebagai elemen pemersatu dan pembentuk identitas bersama.
Dengan kata lain, ambiguitas bangunan Komunitas ASEAN terletak pada kesulitan untuk menemukan sebuah identitas bersama yang menjadi elemen utama pembentuk suatu komunitas. Andaipun, upaya untuk menemukan identitas bersama ini terus dilakukan, sangat sulit membayangkan entitas apa dan dari tumpukan historis dan kebudayaan siapa di antara anggota ASEAN yang akan digunakan. Kalaupun solusi yang paling mungkin adalah menciptakan sebuah identitas bersama yang benar-benar baru, yang tidak dibangun dari nilai-nilai luhur masa lalu, melainkan konstruksi dari aktor kreatif yang bergabung dalam komunitas ini, maka identitas tersebut telah dan akan diperebutkan dari waktu ke waktu. Pembangunan identitas kawasan ASEAN akan diperebutkan tidak hanya sebagai indikasi konflik negara-masyarakat tetapi lebih mendalam, antara “komunitas” yang sedang dibangun oleh ASEAN dan individu.
Terlepas dari kesukaran untuk menentukan satu bangunan identitas yang bersifat ajeg, saya lebih condong ingin melihat bahwa proyek menjadi komunitas bukan merupakan sesuatu yang final, melainkan sebagai narasi  yang terus menjadi. Artinya, kita tidak bisa mengharapkan ia terbentuk sekali jadi, melainkan dibentuk secara terus-menerus. Jadi, apa yang ditanggung masyarakat ASEAN, apa yang akan mengikat dan menyatukan mereka (kita) apa yang mereka (kita) miliki bersama, harus masih terus dicari. Dan ini harus terus berlangsung.
ASCC dan Tantangan Pembentukan Identitas Komunitas ASEAN
ASEAN Socio-Culture Community (ASCC) merupakan prakarsa Filipina untuk melengkapi kedua pilar yang lain. ASCC diharapkan meliputi pengembangan dimensi sosial dan kebudayaan serta proses integrasi di ASEAN. Filipina mengajukan Plan of Action (PoA) untuk mengkonkretkan komitmen ASEAN menjalankan ASCC. PoA itu memiliki empat elemen inti, yakni: Membangun komunitas masyarakat peduli untuk mengatasi kemiskinan, kesetaraan dan pembangunan manusia; mengelola dampak sosial dari integrasi ekonomi dengan membangun sumber daya manusia yang kompetitif dan sistem perlindungan sosial yang memadai; Meningkatkan kelestarian lingkungan dan tata kelola lingkungan yang sehat; Memperkuat dasar kohesi sosial terhadap Komunitas ASEAN.
Keempat elemen ini tersebut kemudian dioperasionalisasikan di bawah ASCC Blueprint menjadi enam karakteristik: pembangunan manusia (human development), kesejahtraan dan perlindungan sosial (social welfare and protection), hak dan keadilan sosial (social justice and right), memastikan kelestarian lingkungan (ensuring environmental sustainability), membangun identitas ASEAN (bulding ASEAN identity), dan mempersempit kesenjangan pembangunan (narrowing the development gap).[11]
Pelaksanaan konstruksi sosil-budaya ini dapat dianggap sebagai rekayasan besar yang pernah terdengar sejak munculnya agama-agama besar yang memberikan payung pemersatu bagi para pemeluknya. Namun ASCC bukan semata-mata gerakan ambisius ASEAN, meskipun memang di kawasan dimana beberapa negara sebagian besar masih berada pada tahap pembangunan, upaya membangun komunitas sosial-budaya memang cukup berani. ASCC memasukkan berbagai kebijakan dan pembangunan kawasan yang tidak ditemukan di APSC dan AEC, yakni keamanan manusia ASEAN yang seutuhnya. Jika APSC terutama berkaitan dengan keamanan dan hubungan di tingkat negara, dan AEC bertujuan untuk menjaga stabilitas pasar dan perdagangan, maka fokus ASCC adalah keamanan manusia yang berbasis pada masyarakat (people-centered).[12]
Terlepas dari niat tersebut, harus diakui ASCC merupakan pilar paling lemah dari Komunitas ASEAN dan lebih merupakan aspirasi dibandingkan sebuah tujuan. Karena itu, perhatian harus lebih ditunjukkan untuk membuat kemajuan di bidang ini. Sumber daya besar harus disiapkan untuk mencapai tujuan ASCC. Peningkatan mekanisme koordinasi harus terus dikembangkan, dan kerjasama yang lebih besar antar negara anggota dalam kerangka ASEAN harus dipromosikan untuk menggapi berbagai tujuan yang luas dari ASCC. Pemimpin yang peduli dan administrasi yang efektif niscaya dibutuhkan jika proyek Komunitas ASEAN ini hendak direalisasikan pada 2015. Menentukan sistem untuk menilai perkembangan dari pelaksanaan semua pilar Komunitas ASEAN, khususnya ASCC harus ditentukan. Dan, yang tidak kalah penting, merumuskan target yang lebih spesifik dan target yang paling dibutuhkan saat ini adalah menjadikan Komunitas ASEAN ini sebagai isu bersama (common issue) di kalangan masyarakat.
Begabung dalam komunitas adalah proses identifikasi diri sebagai bagian dari komunitas yang dibangun, dan ini mustahil terwujud ketika tidak ada kesamaan persepsi di antara aktor-aktor yang akan terlibat. Bahkan kesan yang muncul dari cita-cita menjadi “caring and sharing society” adalah kesan utopis, karena elemen dasar yang memungkinkan tumbuhnya perasaan itu juga belum terbentuk. Inilah tantangan terbesar Komunitas ASEAN saat ini; memastian kesadaran, pemahaman, dan penerimaan publik terhadap isu ini.   
Pembentukan Komunitas ASEAN mendapat kritik tajam dari beberapa sarjana, karena kecenderungan yang mengemuk dalam prosesnya hanya melibatkan politisi, para pembuat kebijakan, komunitas-komunitas elit tertentu, namun melupakan masyarakat umum sebagai dasar paling penting yang menopang pembentukan komunitas tersebut. Dengan kata lain, asosiasi ini lebih bersifat elitis dan state centric di bandingkan berbasis pada masyarakat.
Adalah penting untuk disadari bahwa multikulturalisme adalah basis komunitas ini. Hal ini mengingat bangsa-bangsa yang terlibat dalam komunitas ini juga terajut dari heterogenitas kebudayaan, etnis, dan kepercayaan. Akan tetapi, apa yang berlaku dalam Komunitas ASEAN dan ASCC khususnya adalah pembentukan identitas bersifat top-down oleh negara-negara anggota melalui pemerintah mereka, baik dalam menentukan target, tujuan dan proses. Terbukti, kesadaran, pemahaman, dan penerimaan publik mengenai isu ini masih sangat rendah. Hal ini menimbulkan resiko bagi perkembangan bagi Komunitas ASEAN dan ASCC atau ASEAN secara keseluruhan karena pada akhirnya, visi sebagai satu komunitas mungkin sebenarnya didasarkan oleh para elit, dan masyarakat internasional yang dibangun seperti ini cenderung rapuh.[13] Sebagaimana diuraikan lebih lanjut oleh Severino bahwa, “tanpa perasaan yang lebih dalam terhadap identitas regional, maka stabilitas abadi dan integrasi ekonomi regional, serta saling percaya yang dibutuhkan untuk mereka, tidak akan mungkin terwujud”.[14]
Dalam blueprint ASCC, telah diserukan untuk membangun sebuah identitas ASEAN yang akan “menjadi dasar kepentingan kawasan di ASIA Tenggara”. Identitas ASEAN dimaksudkan sebagai “keperibadian, norma-norma, nilai-nilai, dan keyakinan serta aspirasi kita bersama sebagai satu komunitas ASEAN”. Internalisasi identitas bersama dalam benak setiap warga ASEAN menyimpan kerumitan yang sangat fundamental. Gagasan integrasi kawasan yang selama ini lebih cenderung dioperasionalkan oleh negara menyebabkan bangunan Komunitas ASEAN dengan identitas bersama menjadi semakin rumit untuk terwujud, proses internalisasi suatu kumpulan lengkap identitas tidak bisa terbangun sekali jadi. Di sisi lain, identitas negara belum tentu menjadi identitas individu. Jadi, sebagaimana diungkapkan Jonsson, bahwa apa yang ASEAN maksud sebagai identitas bersama adalah tidak jelas sehingga dalam praktiknya hanya ada sedikit segi mengenai bagaimana membuat semacam identitas bersama.[15]
Bangunan identitas regional yang ajeg dan final memang sulit – bahkan sebagian mengatakan mustahil – karena identitas bersama yang menjadi karakteristik satu bangsa pun masih belum sepenuhnya menjadi konsensus bersama di masyarakat. Terbukti di beberapa negara ASEAN, integrasi masih menjadi masalah serius yang terus menghantui, termasuk di Indonesia. Namun faktor yang paling relevan mempengaruhi kesadaran, pemahaman, dan penerimaan publik terhadap Komunitas ASEAN terletak pada seberapa jauh masyarakat dilibatkan dalam proses pembentukannya, dan karakteristik yang ditunjukkan komunitas ini, antara yang bersifat elit dan state-centric atau berbasis pada masyarakat.
Survey yang dilakukan oleh Guido Benny dan Kamarulnizam Abdullah juga menunjukkan bahwa terdapat korelasi antara tingkat kesadaran, pemahaman, dan penerimaan publik terhadap Komunitas ASEAN dengan ide dan implementasi program Komunitas ASEAN. Semakin sedikit partisipasi publik maka kesadaran, pemahaman, dan penerimaan mereka juga relatif rendah, begitu juga sebaliknya.[16]
Oleh karena itu, tantangan yang harus diupayakan oleh ASEAN adalah memastikan gagasan Komunitas ASEAN menjadi gagasan dan isu bersama di antara warga ASEAN, sehingga identitas bersama dalam arti sense of community mungkin terwujud, dan koneksi antar masyarakat sebagaimana diamanatkan Blueprint ASCC juga mungkin terlaksana.
Peran Kaum Muda dalam Bangunan Komunitas ASEAN
Pada dekade 80-an, dunia sudah mengenal istilah revolusi “Triple T” untuk menjelaskan terjadinya perubahan mendasar dalam perekonomian dunia dan hubungan ekonomi antarbangsa yang dipicu oleh perkembangan pesat di bidang teknologi telekomunikasi, transportasi, dan turisme. Revolusi ini menyebabkan pergerakan barang dan jasa serta faktor-faktor produksi mengalir deras ke seluru pelosok dunia. Globalisasi kemudian menjadi kosa kata yang paling banyak dibicarakan.
Dalam perubahan dunia seperti itu, negara tidak lagi dapat mengisolasi diri dari pergaulan global. Sementara di sisi lain, negara juga tidak dapat lagi membatasi koneksi antar individu-individu. Pola diplomasi antar negara pun mulai bergeser mengikuti perkembangan isu-isu global, regional serta kemajuan teknologi. Apabila di masa lalu peran pemimpin negara dan diplomat sebagai perwakilan negara tidak tergantikan dalam hubungan antar bangsa, maka untuk saat ini peran negara semakin minim, dan digantikan oleh hubungan yang berserak antara individu-individu di luar negara.
Kemajuan teknologi informasi semakin menggantikan peran diplomat dan duta besar, karena hubungan komunikasi dapat dilakukan dari titik manapun. Sebagaimana diungkapkan Barry Fulton, “negara-negara yang semula dihubungkan oleh departemen luar negeri dan aktivitas perdagangan sekarang terhubung melalui berjuta-juta individu dengan memakai saluran optik, satelit, telepon kabel dan tanpa kabel dalam sebuah jaringan yang kompleks tanpa pengawasan terpusat”.
Demikian halnya dengan kemajuan media televisi dan audio visual lainnya mengakibatkan intrupsi unsur-unsur kebudayaan asing tidak mudah dibendung. Namun hal ini tidak harus dilihat melulu sebagai ekses negatif, karena penyebaran informasi menjadi jauh lebih efektif, lebih mudah dibandingkan masa-masa sebelumnya.
Yang penting untuk disadari – dalam konteks Komunitas ASEAN – adalah negara tidak lagi bisa mengisolasi warganya dari berinteraksi dengan warga dari negara lain, sebaliknya negara harus menempatkan warganya sebagai aktor kunci dalam proses hubungan internasional. Oleh karena itu, pola hubungan diplomatik yang cenderung konservatif harus dikurangi, sebaliknya praktek-praktek diplomasi untuk mengakomodir berbagai perubahan yang menyebabkan peningkatan peran media dan partisipasi masyarakat harus semakin ditingkatkan. Praktek diplomasi yang menjadikan masyarakat sebagai aktor utamanya ini biasa disebut diplomasi publik. Diplomasi model ini memungkinkan terjadinya hubungan diplomatik antar individu, antar komunitas, atau antar korprat.
Komunikasi yang bebas tanpa sekat-sekat akibat kemajuan teknologi informasi memungkinkan terjalinnya hubungan yang semakin intensif dan aktif, sehingga gagasan-gagasan yang nantinya mempengaruhi masyarakat tidak hanya dipahami dan disepakati oleh elit atau pejabat-pejabat tinggi negara. Hubungan komunikasi yang intensif dan aktif akan melahirkan hubungan dialogis di antara warga ASEAN sehingga kesadaran, pemahaman, dan penerimaan satu sama lain mungkin terwujud.
Aktor sentral yang akan menentukan keberhasilan Komunitas ASEAN adalah kaum muda. Mereka menjadi aktor strategis tidak semata-mata karena kesan yang selama ini melekat dalam diri mereka, yakni kritis, cerdas, dan terbuka, namun disebabkan oleh posisi mereka sebagai subjek utama berbagai program yang telah disepakati dalam blueprint Komunitas ASEAN, khususnya ASCC. Oleh karena itu, jika pemuda sebagai subjek utama kurang tersosialisasi mengenai gagasan Komunitas ASEAN ini maka niscaya keberhasilan proyek ini disangsikan karena subjek utamanya bersifat pasif.
Posisi strategis pemuda juga berkaitan dengan akses teknologi komunikasi. Mereka adalah strata terbesar pengguna dan pengakses jaringan internet, konsumen terbesar telekomunikasi, dan target utama perusahaan-perusahaan media. Oleh karena itu, seharusnya tidak sukar untuk mempromosikan budaya ASEAN kepada mereka. Menarik untuk dianalisa fenomena belakangan ini, terkait dengan maraknya budaya Korea, Cina, Jepang dan budaya Barat yang diintroduksi melalui media televisi, di mana sebagian kaum muda mengidentifikasi diri dengan budaya-budaya “asing” tersebut. Melihat fenomena tersebut, seharusnya promosi kebudayaan ASEAN yang tak kalah kreatif dan menyimpan nilai estetika yang tinggi mampu merajai di kawasan ini.
Faktor lain yang membuat posisi kaum muda sebagai subjek sosialisasi gagasan Komunitas ASEAN adalah tingkat mobilitas mereka yang cukup tinggi. Kosmpolitasnisme anak muda terutama di kota-kota besar memungkinkan interaksi antar negara semakin besar. Salah satu karakteristik kosmopolitanisme adalah meleburnya sekat-sekat yang menghadang penerimaan dan pemahaman satu sama lain. Anak muda juga tergabung dalam berbagai organisasi massa, seperti partai politik, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), organisasi keagamaan, organisai bisnis, dan organisasi kepemudaan lainnya.
Keterlibatan publik, terutama anak muda menentukan sejauh mana cita-cita ASCC menjadi “caring and sharing community”. Karena publik dan anak muda adalah aktor utama yang membentuk komunitas ini.
Kesimpulan
Terlepas dari rumitnya persoalan pemebentukan identitas bersama itu, penciptaan Komunitas ASEAN merupakan perkembangan yang paling signifikan dalam sejarah panjang perjalanan ASEAN. Urgensi dan relevansinya barangkali lebih menentukan dibandingkan sebuah bangunan yang solid dan ajeg mengenai suatu identitas bersama, meski persoalan ini tidak boleh dilupakan karena sebenarnya menggabarkan persoalan yang sangat fundamental dari komunitas ini. Yang saya maksud urgensi dan relevansi Komunitas ASEAN adalah terkait utilitasnya sebagai komunitas yang akan memudahkan hubungan, koneksi, dan integrasi terutama dalam ketiga pilar yang menyokongnya. Urgensi dan relevansi ASEAN bergerak menuju kerjasama yang lebih baik dan erat, datang dari tantangan global dan kebangkitan China dan India yang sudah semakin dekat sebagai kekuatan ekonomi dunia. Oleh karena itu, penting bagi ASEAN untuk menyingkirkan semua hambatan yang akan menghalangi integrasi dan kerjasama demi mewujudkan masyarakat yang sejahtra dan makmur. Untuk hal ini, ASEAN telah memiliki seperangkat kelembagaan yang akan mengatur dan menjadi koridor keterlibatan para angota ASEAN. Implementasi blue print yang telah disepakati oleh masing-masing negara anggota harus segera diwujudkan dalam aksi-aksi konkret, sehingga blue print itu tidak hanya menjadi dokumen hitam di atas putih, yang tak berwujud apa-apa. Dan yang terpenting upaya untuk mewujudkan Komunitas ASEAN sebagai issu bersama (common issue) harus semakin gencar dilakukan karena hal ini penting bagi pembentukan sentimen publik. Promosi dan sosialisasi mengenai proyek ini harus terus disuarakan melalui berbagai media, sehingga proyek besar ini tidak hanya menjadi prakarsa sekelompok pelaku, namun melibatkan ide dan prakarsa masyarakat secara keseluruhan.
Anak muda adalah kelas terbesar warga ASEAN. Kesadaran, pemahaman, dan penerimaan mereka terhadap gagasan proyek Komunitas ASEAN menjadi penentu utama keberhasilan proyek tersebut. Mereka adalah subjek utama dalam berbagai program yang dirancang dalam blueprint Komunitas ASEAN, khususnya pilar ASCC, karena itu keterlibatan mereka tidak hanya sebagai subjek pasif, melainkan menjadi subjek-subjek yang ikut menentukan corak Komunitas ASEAN kedepan.
Mengenai program-program aksi bagi terwujudnya Komunitas ASEAN khususnya ASCC telah terancang dengan baik dalam blueprint masing-masing pilar yang menyokong komunitas ini. Problem utama adalah sejauh mana perkembangan berbagai program tersebut telah diimplementasikan dalam aksi-aksi konkret di masyarakat.




Daftar Pustaka
Friedman, Thomas L., A Brief History of The Twenty-First Century. Macmillan, 2007. 
Guido, Benny and Kamarulnizam Abdullah, Indonesian Perception and Attitudes Toward the ASEAN Community dalam Journal of Current Southeast Asian Affairs, (Humberg: GIGA and Humberg University Press, 2011), h. 40.
Amador, Julio S.; ASEAN Socio-Cultural Community: An Assessment of its Institutional Prospects, (Electronic copy available at: http://ssrn.com/abstract=1803830), h. 12.
ASEAN Secretariat, ASEAN Socio-Culture Community Blueprint, Jakarta, 2009.
ASEAN Secretariat, Roadmap for an ASEAN Community 2009-2015, Jakarta,  2009.
CPF. Luhulima, Masyarakat Asia Tenggara Menuju Komunitas ASEAN 20015, Jakarta: P2P LIPI, 2008.
Anderson, Benedict T, Imagined Communities; Komunitas-Komunitas Terbayang, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001, Terj.
 Severino, Rodolfo C., ASEAN at Forty: A balance sheet, dalam Southeast Asian Affairs, Singapore: ISEAS Publications, 2008.
Jonsson, Kristina. "Unity-in-Diversity? Regional Identity Building in Southeast Asia." Journal of Current Southeast Asian Affairs , no. 2, 2010.


[1]Dalam buku The World is Flat, Thomas L. Friedman mengatakan bahwa dunia ini didatarkan oleh konvergensi 10 pristiwa yang berhubungan dengan politik, inovasi, dan perusahaan. Perkembangan cepat yang membuat manusia semakin sibuk, semakin dapat melihat satu sama lain meskipun dalam belahan bumi yang berbeda. Lihat, Thomas L. Friedman, A Brief History of The Twenty-First Century, Macmillan, 2007.  
[2]Benny Guido and Kamarulnizam Abdullah, Indonesian Perception and Attitudes Toward the ASEAN Community dalam Journal of Current Southeast Asian Affairs, (Humberg: GIGA and Humberg University Press, 2011), h. 40.
[3]Julio S. Amador; ASEAN Socio-Cultural Community: An Assessment of its Institutional Prospects, (Electronic copy available at: http://ssrn.com/abstract=1803830), h. 12
[4]Benny Guido and Kamarulnizam Abdullah, Indonesian Perception and Attitudes Toward the ASEAN Community dalam Journal of Current Southeast Asian Affairs, (Humberg: GIGA and Humberg University Press, 2011).
[5]Benny Guido and Kamarulnizam Abdullah, Indonesian Perception and Attitudes Toward the ASEAN Community dalam Journal of Current Southeast Asian Affairs, (Humberg: GIGA and Humberg University Press, 2011), h. 40.
[6]ASEAN Socio-Culture Community Blueprint, (Jakarta: ASEAN Secretariat, 2009)
[7]Roadmap for an ASEAN Community 2009-2015 (Jakarta: ASEAN Secretariat,  2009)
[8]Emmanuel Adler dan Michael Barnett dalam CPF. Luhulima, Masyarakat Asia Tenggara Menuju Komunitas ASEAN 20015, (Jakarta:P2P LIPI, 2008), h. 14-15.
[9]Julio S. Amador; ASEAN Socio-Cultural Community: An Assessment of its Institutional Prospects, (Electronic copy available at: http://ssrn.com/abstract=1803830), h. 12
[10]Benedict T Anderson, Imagined Communities; Komunitas-Komunitas Terbayang, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001), h. 8. Terj.

[11]ASEAN Socio-Culture Community Blueprint, (Jakarta: ASEAN Secretariat, 2009)

[12]Julio S. Amador; ASEAN Socio-Cultural Community: An Assessment of its Institutional Prospects, (Electronic copy available at: http://ssrn.com/abstract=1803830), h. 20

[13]Julio S. Amador; ASEAN Socio-Cultural Community: An Assessment of its Institutional Prospects, (Electronic copy available at: http://ssrn.com/abstract=1803830), h. 30
[14]Rodolfo C. Severino. ASEAN at Forty: A balance sheet, dalam Southeast Asian Affairs, (Singapore: ISEAS Publications, 2008), h. 70.
[15]Kristina Jonsson. "Unity-in-Diversity? Regional Identity Building in Southeast Asia." Journal of Current Southeast Asian Affairs , no. 2 (2010): h. 43.
[16]Benny Guido and Kamarulnizam Abdullah, Indonesian Perception and Attitudes Toward the ASEAN Community dalam Journal of Current Southeast Asian Affairs, (Humberg: GIGA and Humberg University Press, 2011).

1 komentar:

  1. please see also our video about the Socialization of ASEAN Socio Cultural Community (ASCC) at SMA Muhammadiyah 4 Jakarta.... just need 5 minutes to watch and 1 second to like our video hehehe our video link: https://www.youtube.com/watch?v=7ql-QRnmnmU
    thanks you
    http://gheazine.blogspot.co.id/

    BalasHapus